Oleh : Hilma Permata Suci, S.Pd
Jam 4 sore kutunggu tiap hari demi coklat panjang kala itu
Masih kuingat kutarik-tarik tanganmu demi jatah coklat panjang kesukaanku
Lama kutunggu goncangan tanganmu di dalam saku memilih koin demi koin untukku
Ah… terasa lama ayah.. coklat panjang itu sudah menari-nari di lidahku
Tapi koinku selalu keluar dari kantongmu lama dalam deretan detik waktu
Hingga dewasa kutau
Ayah harus berjalan kiloan jaraknya hanya untuk menyisakan koin untuk coklat panjangku tiap sore kala itu
Jam 7 ba’da magrib adalah waktu favoritku
Saat kulihat engkau lantang berteriak di mimbar itu ayah
Menyampaikan ilmu demi ilmu dengan gaya pemberanimu untuk kebenaran agama dan tauhid-Nya
Tapi Ayah
Ba’da Isya waktu yang kubenci karena kudengar seorang pengurus mesjid berkata pada teman-temanku “Jangan minta tanda tangan padamu. Matamu gelap! Jangan sampai tintamu merusak buku. Biarlah Ustadz saja yang menandatangani buku agenda.” yang akhirnya melegenda menyakiti hatiku hingga dewasa
Ayah… Hinaannya abadi dikepalaku
Matamu yang gelap itu tak pernah kau perlihatkan
Perjuanganmu yang selalu ada untuk kami yang aku rasakan
Hinaan pada dua bola matamu kuyakin merambat ketelingamu
Tapi kenapa tak pernah mampu menembus hatimu
Ayah… Kulihat di akhir hidupmu mata yang gelap itu tangguh
Kupegang tanganmu erat walaupun hatiku rapuh
Sakit Ayah… Sakit kuharus menerima kenyataan dan luluh
Tak ada lagi kulihat kakimu ringkih berjalan
Matamu gelap yang tak pernah kalah menghadapi hinaan
Cerdasmu yang selalu aku banggakan
Tapi ayah
Kuyakin di sana ada dua bola mata dari surga
Kau lihat jelas dari sana dan takkan menduga
Sekarang aku luar biasa seperti ayah hebatku menghadapi dunia
Kuyakin disana ada dua bola mata dari surga
Dan kau tak perlu lelah menghadapi dunia