Oleh : Fitra, S.Pd.I
Matahari muncul malu-malu di atas langit, berusaha menyingkap awan mendung yang sedari tadi menghiasi langit kelam. Sisa hujan yang jatuh memantulkan kemilau indah di dedaunan. Inilah tempat yang membangkitkan kenangan semasa kecil. Masa dimana ayah dan ibu mengajak bermalam di ladang gambir jauh di kaki bukit. Hidup terasing, jauh dari rumah dan perkampungan.
Bukan Ayah dan Ibu nak ingin kami susah dan merasakan kerasnya hidup. Bukan pula hendak mengajarkan mangampo (mengolah gambir). Bukan pula nak merampas masa kanak-kanak. Jauh di lubuk hati mereka tersimpan cita-cita pada kami kakak-beradik, bahwa kami harus hidup senang jadi orang. Tidak merasakan pahitnya hidup menjadi petani gambir seperti yang mereka jalani.
Kegigihan Ibu membantu Ayah mencari nafkah untuk menambah penghasilan yang sering tak cukup telah menjadikannya ibu perkasa. Ibu tak bisa diam dirumah membiarkan Ayah bekerja seorang diri di ladang.
“Jika terjadi sesuatu, kemana hendak minta tolong. Orang-orang yang berladang di sana cukup jauh rumah kampaan-nya dari ladang kita. Bekerja ayah seorang. Bagaimana kita menyekolahkan keempat anak kita?” kata Ibu suatu ketika saat Ayah melarangnya ikut berladang”.
Selama berladang, Ibu menitipkan kami pada adek ibu, namanya Tek Nur. Tek Nur juga sudah punya keluarga dengan 2 orang anak. Memang berbeda rasanya tinggal dengan orang lain walaupun itu masih keluarga ibu. Kami kakak-beradik harus basipakak badak dengan umpatan dan cacian. Walau tak bisa merekam jelas setiap kata-katanya tapi sungguh sangat menggores hati dan selalu terngiang-ngiang. Hingga suatu ketika Kak Tuti membawa kami kerumah.
“Sudah berapa kali Kakak bilang, jangan kesana juga. Pulang sekolah tu langsung ke rumah dan makan. Kakak kan sudah besar dan sudah bisa masak,” katanya sembari menyudukan nasi dan ubi goreng yang di galinya dibelakang rumah. Kami hanya bisa diam.
Hari libur pun tiba.
“Selagi anak-anak libur biarlah kita bawa saja mereka ke ladang,” kata ibu dari dapur. Mendengar itu pikiranku langsung ke sambal lado nak tubuak khas ibu. Menu ternikmat jika bermalam di ladang. Suapan demi suapan dari tangan kasar ayah sungguh nikmat, senikmat kasih mereka.
Kak Tuti sibuk menanam anak lado sakam (cabe putu) di belakang kampaan. Sedangkan kami bertiga main perang-perangan. Sembunyi di antara rimbunnya daun-daun gambir. Kala senja menjelang kami akan duduk di pangkuan ibu. Ibu menenangkan kami yang mulai ketakutan. Sore memang waktu keluarnya babi hutan. Bunyi-bunyi aneh terdengar di sisi ladang. Tapi kata ibu itu hanyalah suara monyet yang kembali pulang ke sarang.
Cerita pengantar tidur selalu ayah dongengkan. Impian Ibu agar kami sukses di masa depan. Sungguh cerita dan harapan indah saat liburan datang. Ah! Aku merindukan keduanya. Rindu dengan belaian lembut walau dengan tangan-tangannya yang kasar bekas tersayat tuai (pisau bermata dua untuk mengambil daun-daun gambir). Andai aku bisa meminta, aku harap mereka masih ada, berdiri tegap dan bangga melihat terijabahnya doa-doa mereka waktu itu.
Angin mulai berhembus menusuk raga. Aku tersintak. “dr. Aisyah, kau sudah sampai ternyata,” suara itu muncul di balik rimbunnya daun-daun gambir. Suara yang sangat aku kenal.
“Ngapain melamun di situ? Mana Ilham dan Lukman adikmu? Katanya mau datang melepas rindu dengan kakak”
Pertanyaan kakak tak bisa aku jawab sampai kakak bertanya dua kali kepadaku.
“Ilham dan Lukman mungkin tak bisa datang kak. Katanya ada urusan kantor yang tak bisa ditinggalkan,” jawabku gugup.
“Itulah kehidupan kota, ya Dik. Sangat sibuk sampai lupa pada saudara sendiri,” gumam kakak dengan nada sedih. Tapi diriku sangat menangkap kekecewan dan kesedihan itu. Kekecewaan kakak yang sudah terbayang olehku sedari awal. Memang kebahagian kakak itu ada pada 2 saudaraku itu. Merekalah kebanggaannya.
“Tapi tak apalah, Kakak saja yang berlebihan. Naiklah, Kakak sudah siapkan sambal lado kesukaanmu.”
Aku mengiringi Kakak yang naik ke atas rumah kampaan. Kakak menyudukan nasi. kulihat gurat-gurat yang sama di tangannya, penuh luka. Luka yang sama di tangan ayah dan ibu dulu.
“Memang beginilah tangan orang kampung, Dik. Apalagi kerja mengambil daun-daun gambir,” ucap Kakak.
Aku tak bisa berkata-apa. Andai kakak dulu juga bisa sekolah seperti kami, tentu dia tak kan hidup susah dan melanjutkan warisan Ayah Ibu ini. Kakak mengorbankan beasisiwa dan masa depannya untuk kami. Air mata tak mampu lagi aku tahankan. Air mataku tumpah saat mengingat bagaimana pengorbanan Kakak. Berjuang bersama Ibu saat Ayah tiada, agar kami tetap bisa melanjutkan studi.
“Tak usah sedih Adikku. Inilah hidup Kakak. Jika tak ada Kakak mungkin ladang peninggalan ini sudah ditumbuhi semak belukar, tak terurus. Kakak sangat bahagia jika kalian sukses dan hidup senang seperti impian Ayah Ibu kita,” ucap Kakak.
Kami berangkulan. Air mata bahagia dan sedih bercampur aduk di situ. Sungguh indah ikatan ini.
Awan berarak melingkupi cahaya matahari yang mulai meredup di ufuk barat. Senja merona jingga. Ilalang keemasan meliuk diterpa angin di ujung ladang. Terlihat seolah madu lembut dan bening yang ditumpahkan langit. Daun-daun gambir seolah bernyanyi menyambut senja yang mulai pekat. Sungguh senja di ladang gambir yang mengandung magis. Pengikat tali yang putus. Penyambung raga yang terpisah jarak dan waktu dalam ikatan cinta dan persaudaran. Sungguh indah.
Bila ada yang menceritakan senja terindah, dia pasti belum datang ke ladang kami. Senja terindah hanya di sini.
Cerita ini ku persembahkan untuk orang yang belum sempat aku mengobati luka jasad dan juga raga. Yang berjuang dalam memberikanku nama. Mencintaiku sepenuh jiwa