CERPEN : TANGIS DAN TAWA KITA

Oleh : Loviana, S.Pd.I

Pada hari Rabu, 14 September 2011, semua teman-temanku berkumpul di auditorium salah satu perguruan tinggi di Sumbar. Hari itu adalah hari di mana aku diwisuda. Rona bahagia terpancar dari semua peserta wisuda. Dengan balutan kebaya nan indah, satu-persatu nama kami disebutkan. Tibalah giliran namaku dipanggil. “Lovenia anak dari bapak Budi, dengan judul skripsi Pelaksanaan Bimbingan Karir di SMA, dengan yudisium cumlaude,” Rasanya seperti mimpi. Waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru kemaren aku melewati jenjang pendidikan SD, SMP, SMA dan Alhamdulillah aku bisa menyelesaikan pendidikan Strata 1 tepat waktu.

Aku memiliki keluarga yang sangat bahagia. Sebagai anak satu-satunya, harapan orang tua sangat besar terhadapku. Begitu juga denganku, sebagai anak satu-satunya, aku tidak mau mengecewakan orang tua. Aku akan membuat mereka bangga dan bahagia di hari tuanya. Alhamdulillah, satu kebahagiaan orang tua sudah kuwujudkan. Aku bisa menamatkan pendidikan Strata 1 dengan tepat waktu dan perolehan nilai yang bagus. Kebahagiaan itu terlihat jelas di wajah ke dua orang tuaku. Sebagai anak, melihat orang tua bahagia, itulah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya.

Kebahagiaan setelah wisuda kurasakan hanya seminggu. Setelah itu, muncul pertanyaan di benakku, aku mau kerja apa? Pemikiran-pemikiran negatif mulai menggerogoti pikiranku. Hal ini membuat aku gelisah, menghabiskan waktu tak menentu, dan stress. Pertanyaan mengenai pekerjaan mulai bermunculan dari orang-orang yang berada disekelilingku.

“Nia, apa rencanamu untuk ke depan? Mau melamar pekerjaan dimana?” tanya tanteku. Jujur aku belum siap ditodong pertanyaan seperti itu. Aku hanya senyum dan diam seribu bahasa.

Di kala stress melanda, tiba-tiba dering HP-ku berbunyi. Kulihat satu nama yang tengah menelpon yaitu sahabat yang paling dekat denganku, teman senasib seperjuangan bernama Ani. Kita banyak menghabiskan waktu bersama. Aku sering numpang nginap di kosannya, begitu juga sebaliknya, Ani pun sering nginap di rumah ku.

Setelah wisuda Ani langsung pulang ke kampung halamannya di Pasaman Barat. Semenjak itu kami tidak pernah bertemu lagi. Keasyikan ngobrol lewat HP, kulihat jam dinding kamar ku, kami  telah menghabiskan waktu ngobrol lebih kurang 1 jam. Banyak hal yang kita bincangkan, mulai dari rasa kangen, rindu suasana kuliah, cerita pasangan, dan pekerjaan. Ani membawaku untuk melamar di sebuah  sekolah yang berada jauh dari rumahku dan belum pernah aku menginjakkan kaki di sana.

Hari ini aku bangun lebih awal. Sesuai dengan perbincanganku bersama Ani tempo hari, ini hari adalah hari di mana aku bersama Ani ingin mengantarkan lamaran pekerjaan ke sekolah yang diceritakan Ani pada saat kami ngobrol lewat HP. Semangatku menggebu-gebu, begitu juga dengan orang tuaku. Karena dorongan merekalah aku ingin mewujudkan kebahagian di hati mereka. Orang tuaku sangat menginginkan anaknya untuk menjadi seorang guru. Bismillah, kulangkahkan kaki turun dari rumah, menuju angkutan umum yang bisa mengantarkan aku ke sekolah itu.

Dua jam perjalanan membuat ku tertidur pulas di atas angkutan umum. Rasanya begitu cepat. Aku rindu sekali ingin bertemu dengan teman ku Ani. Akhirnya, sampailah aku di sebuah simpang, tempat di mana aku janjian bertemu dengan Ani. Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan cantik, berjilbab dalam tengah berdiri di pinggir jalan. Ya, itulah Ani, sahabat yang sangat aku cintai. Turun dari angkutan umum, aku langsung menghampirinya. Aku melambaikan tangan, bergegas ke arahnya dan kami berpelukkan. Itulah pertemuan pertama kami setelah hari itu acara wisuda di kampus tercinta.

Sekolah yang akan kami datangi berada di tengah-tengah kampung. Cukup jauh, dari simpang di mana kami janjian bertemu. Tapi tidak apa-apa, itu artinya kami memiliki lebih banyak waktu untuk saling bercerita. Di perjalanan kami bercerita masa depan, pekerjaan dan juga pernikahan. MasyaAllah, sahabatku ini, memang seorang perempuan yang luar biasa. Bahkan ia telah merencanakan masa depannya dengan sangat matang. Begitu juga dengan diriku, anak tunggal yang menjadi harapan kedua orang tua.

Lima belas menit kami menghabiskan waktu berjalan kaki. Dari kejauhan kami melihat sebuah gedung bertingkat. Dalam hati ku bergumam, apakah itu sekolah yang akan ku tuju? Ya, benar sekali. Inilah sekolah yang kami tuju. Tempatnya sangat asri, gedungnya bertingkat, dan orang-orang yang ku temui sangat ramah.

“Assalamu’alaikum Ibuk. Maaf ada yang bisa saya bantu?” sembari senyum, Bapak Satpam menghampiri kami.

“Wa’alaikumsalam Bapak. Ini pak, kami ingin memasukkan lamaran pekerjaan di sekolah ini,” serentak kami menjawab.

“Iya Buk, silahkan tinggalkan berkasnya di sini. InsyaAllah nanti saya berikan ke bagian tata usaha.” Dengan semangat, kami mengeluarkan berkas dari dalam tas dan langsung kami berikan kepada Bapak Satpam yang sangat ramah itu sembari mengatakan terima kasih. Kami langsung pamit. Itulah pertemuan singkat kami pada hari itu. Kami berharap ke depan Allah mempertemukan kami lagi.

Siang itu aku sedang bercengkrama bersama orang tua, saat nada HP-ku berbunyi. Langsung kulihat dan ternyata ada SMS masuk. Kucoba buka SMS itu. Aku kaget. SMS itu datang dari sekolah tempat kumelamar pekerjaan tempo hari. Aku diminta untuk mengikuti tes pada waktu yang telah dibunyikan di SMSitu.

Beberapa kali mengikuti tes, aku dinyatakan lulus dan diizinkan bergabung pada tanggal 3 Desember 2011. Mendengar kabar itu, orang tuaku sangat bahagia sekali. Alhamdulillah aku bisa membuat mereka kembali berbahagia. Di balik kebahagiaan yang kurasakan, ada kesedihan juga yang menghampiri. Sahabat yang membawaku ke sekolah itu, memiliki rencana lain, dan memutuskan untuk tidak mengikuti tes. Aku hanya bisa berdo’a, mudah-mudahan sahabatku mendapatkan jalan yang terbaik.

Berkarir di sekolah dan menjadi seorang guru memang salah satu keinginanku sedari dulu. Ingin mengaplikasikan ilmu yang sudah kuperoleh di bangku kuliah. Hari itu, merupakan awal pertemuan ku dengannya. Siswa yang selama ini terkenal sangat nakal, tidak mau belajar, sering berkasus, kecanduan merokok, kebiasaannya adalah tidur sepanjang hari. Belum ada satu orang guru pun berhasil mendekatinya. Mendengar hal itu, hatiku tersentak, ingin sekali menolong siswa itu, Diva.

Sangat sulit mencarinya. Kudatangi kelas, ia tidak ada. Kucari dia ke pemondokan pun juga tidak ada. Ini adalah tantangan yang membuat semangatku semakin meluap-luap, penasaran akan siswa itu. Terus mencari dan ku cari, akhirnya ku temukannya di sebuah sudut kedai yang berada di dekat sekolah. Ia tengah menghisap sebatang rokok.

“Diva, boleh ibuk duduk disini Nak?” sapa ku sambil tersenyum.

“Oh iya Buk, silahkan.”

Ini adalah awal yang baik. Sepertinya ia tidak keberatan untuk kudekati. Kutunggu ia sampai menghabiskan rokok yang tengah dihisapnya itu. “Selesai kamu merokok, ikut Ibuk ya. Ibuk mau cerita sedikit dengan kamu Diva.” Dengan wajah yang datar iya menjawab, “Oh iya buk.”

Setelah pertemuan pertama itu, kami rutin melakukan pertemuan setiap minggu. Anaknya baik, pintar, namun ia sangat kecewa pada kedua orang tuanya. Ia merasa orang tuanya tidak perhatian kepadanya, orang tua hanya memberikan materi dan itu tidak dibutuhkannya. Ia menginginkan orang tua yang saying dan perhatian kepadanya. Lanjut cerita, ia mengungkapkan suatu hal yang membuat kukaget.

“Ibuk, bolehkah aku memanggilmu Amak?” karena kumerasakan perlakuanmu itu layaknya seperti seorang ibu yang sangat sayang pada anaknya. Aku merasakan kasih sayangmu itu sangat tulus. Aku berjanji akan berubah, akan menjadi siswa yang baik, berprestasi. Aku akan membautmu bangga Mak.”

Sambil menangis dan menunduk ia mengutarakan hal itu. Di waktu yang bersamaan aku pun meneteskan air mata, terharu dan juga bangga pada Diva. Ini hari di mana kami menangis berdua dan bertekad ke depannya akan menjadi siswa yang luar biasa. Mulai hari itu, ia memanggilku Amak.

Aku sangat sayang padanya. Sekarang ia sudah tumbuh menjadi anak yang luar biasa, berprestasi, dan memiliki masa depan yang cerah. Sampai saat ini, ia masih memanggil ku dengan sebutan Amak.

“Amak…… Amak…..”

Ah! Panggilan itu terkadang membuatku menangis sendiri, mengingat masa-masa bersamanya, Diva anak yang sangat kusayangi.