CERPEN : TEMUI DIA

Oleh: Rahima Andesmi, S.Ag.

(Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Guru dan Pegawai Parabek Februari 2022)

Tubuhnya kaku setelah akhirnya bertemu tatap dengan sosok yang ia cari sejak kemarin sore. Keputusan yang sangat tepat untuk menemui Guru sepagi ini. meskipun tanpa perencanaan yang matang bahkan ia belum sempat merangkai kata yang mampu melukiskan kemarau hatinya.

“Hikam?” kata sosok itu tanpa melepas tatapannya dariku.

“Benar Guru” jawabku bergegas memperbaiki peci putih kemberian Guru.

“Duduklah sebentar”

“Guru, saya mengharapkan petuahmu. Sudah beberapa bulan ini tidak ada hujan menghampiri. Kupikir dia enggan menemaniku. Kering sekali rasanya. Sekalipun aku tertatih mencarinya, ia hanya tertawa di balik mata sendunya. Bagaimana cara agar kemarau ini segera berakhir? Aku sangat inginkan hujan menyirami jiwaku”

“Sudah berapa jauh yang engkau lalui sehingga enggan bertanya bagaimana kabarku terlebih dahulu?”

Aku terdiam menatap gerbang besar sekolah ini. Gerbang itu semakin kokoh, begitupun dengan bangunan yang ia lindungi. Pagi ini, hanya hatiku saja yang lusuh.

“Apakah begini caramu mencarinya? Sudahkah kau merayunya? Aku saja ingin kau rayu sebelum pertanyaanmu menyita waktu istirahat kepalaku. Sayang sekali Hikam, pagi ini ada pertemuan penting di ruanganku. Jika ada masa yang lapang, kemarilah. Kita tuntaskan rindu kita ini” tutur Guru yang senyumnya tidak lepas menatapku.

Aku masih mematung menatap punggungnya berlalu menjauhiku. Benar, sudah berapa jauh aku melupakan nasihat-nasihat guru. Bahkan hal kecil yang beliau sukai saja, aku lupakan. Aku menggerutu tanpa ampun sebagai hukuman pagi ini. lancang sekali menanyakan banyak hal setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Apakah benar, kesombonganku yang membuat alam menjauhiku.

Sekolah ini menunjukkan wibawanya sebagai tempat berteduh yang nyaman. Banyak sekali buah hakikat yang dapat dipetik. Tidak satu atau dua pula yang diabaikan. Meskipun begitu, ranumnya tetap sama. Hanya mereka yang bijaklah yang memetik buah hakikat itu seluruhnya. Ia tidak pernah habis. Embun pagi selalu cukup menyimanya hingga terus berbuah manis.

Rindu sekali rasanya membiarkan jiwaku berlarian menyusuri taman ini. melihat mereka mencium tangan guru, rasanya aku larut dalam api cemburu. Sesederhana itu menjemput hujan. Betapa bodohnya aku hingga lupa caranya.

Potongan kue ikan diakhiri dengan secangkir teh hangat cukup memanjakan perutku. Tidak ada lagi rasa malu ketika ibu pemilik warung memastikan apakah benar aku si anak yang tidur di masjid malam tadi. Aku tidak menggeleng tidak pula menganggukkan kepala. Hanya menampilkan sedikit tawa yang masih tersisa.

“sudah berapa lama kau pergi?”

“aku hanya pergi sebentar” jawabku pasti.

“sudah berapa lama kau pergi?” tanyanya kembali

“hanya sebentar”

“sudah berapa lama kau pergi?” tanya pria itu untuk ketigakalinya.

“sudah kukatakan aku hanya pergi sebentar”

“sebentar? Hingga kau kehilangan segalanya?”

Suasana sepi hanya ditemani kicauan burung dan tarian ilalang yang semakin menggila.

“bukankah Dia sangat baik? Membiarkanmu pergi yang kau bilang sebentar saja. Padahal kau pergi dan melupakannya.”

Bukan karena tidak memiliki jawaban untuk orang asing yang duduk di sampingku. Aku merasa kelu mengucapkan sepatah kata memalui bibir kecil ini. yang tersisa hanya rasa ngilu di ulu hati kerena teringat kisah-kisah romantisku dulu.

“seberapa jauh jarak yang kau berikan?”

“sangat jauh. Aku sudah melupakannya kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Tidak ubahnya seperti parasit yang membunuh inangnya. Pikiranku telah membuhun jiwa beserta hati. Sangat jauh. Sangat lama hingga aku berani melupakannya. Tidak ada gunanya hidup ketika bertemu matahari tatkala ia telah naik sepenggalahan. Setelah itu menemani fana hingga fajar menyingsing dan ayam berkokok membangunkan warga. Indah sekali pemandangan itu, hingga aku lengah mengingat Dia yang terus memberikan cinta. Lintah pun tidak akan mau meminum darahku karena isinya hanya racun. Tubuhku ini adalah bangkai hidup yang aromanya sangat memekakkan hidungmu. Berikanlah parfum terbaik yang kau miliki agar aku tidak malu duduk di sebelahmu. Tuahkan kepadaku tentang bagaimana merayu cinta yang sudah lama kutinggalkan. Aku sangat menyesalinya. Setiap hari, dahiku memaki karena tidak pernah tulus meminta cintanya kembali. ”

“usiamu terlalu muda untuk memaki dirimu sendiri.” Ucap pria itu. “Darahmu akan malu ketika kau berucap demikian. Jika diizinkan berbicara pastilah ia marah kepada lisanmu yang seolah sempurna itu. Memikirkan apa yang kau katakan barusan membuat emosiku membuncah. Ingin sekali aku membunuhmu dan mencampakkanmu ke dalam lubang paling busuk di dunia ini. katamu sebentar tapi kau melupakannya. Siapapun seusiamu memang professional terhadap kebohongan. Celaka baginya ketika ia tidak menyadari kesombongan demi kesombongan yang setiap hari ia lukis pada catatan amalnya”

“kau percaya rindu?” tanya pria itu tiba-tiba.

“tentu saja aku percaya rindu. Itulah hati, jiwa dan ragaku detik ini, rindu”

“pergilah! Bergegaslah pergi! Bersihkan tubuhmu, pakai kemeja terbaikmu. Temuilah Dia di rumahnya” perintah pria itu.

“apakah pengemis tidak tahu diri sepertiku masih berkesempatan menerima kasih sayangnya kembali?” tanyaku dengan suaran mulai parau.

“kau tau Dia paling baik, paling adil, paling bijaksana. Ia juga rindu jiwamu yang selalu menyapanya. Dia sangat rindu hatimu yang selalu mengingatnya. Itulah mengapa Dia menciptakan taubat. Agar pendosa sepertimu tidak terus menghabiskan tinta di catatan amal keburukan. Pintu harapan selalu ada. Jemputlah! Temui Dia dengan sisi terbaikmu”