CERPEN : IBU

Oleh: Muhammad Abdi Illahi, S.Pd.

(Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Guru dan Pegawai Parabek Februari 2022)

Sudah berjam-jam ibu menangis di dalam kamarnya. Muti, adikku yang perempuan, menemani ibu dalam pangkuannya. Beberapa kali ibu tiba-tiba berteriak karena tak sanggup menahan perih dalam hatinya. Aza, adik laki-lakiku, ikutan menangis di dalam kamarnya. Dari tadi dia mencoba mengusap butiran bening yang keluar dari kelopak matanya. Diapun tak kuasa menahan kesedihan melihat keadaan ibu. Hatinya memang lembut. Berbeda denganku, bahkan dengan keadaan ibu yang sudah seperti ini, aku memutuskan untuk tetap pergi ke sekolah.

Di sekolah, aku tidak fokus dengan guru-guru yang menerangkan pelajaran. Pikiranku melayang memikirkan keadaan ibu di rumah. Bahkan beberapa hari yang lalu, ibu sempat akan bunuh diri. Untunglah aku dan Aza segera datang dan menyelamatkan ibu. Karena itulah kedua adikku tidak sekolah hari ini. Mereka mau menjaga dan merawat ibu. Mereka khawatir, kalau dibiarkan, ibu bisa saja membahayakan dirinya lagi.

Semua ini tidak akan terjadi kalau ayah tidak menikah lagi dengan janda kampung sebelah itu. Mereka menikah diam-diam tanpa sepengetahuan kami. Kami semua terkejut mendengar kabar itu dari tetangga yang mengatakan kalau mereka melihat ayah jalan-jalan dengan seorang janda ke sebuah tempat pemandian di kecamatan sebelah. Ibu bahkan langsung pingsan mendengar kabar tersebut. Aku, Muti, dan Aza, seolah-olah dihimpit batu besar ketika mendengar kabar tersebut. Kami kecewa, marah, dan sedih dalam waktu bersamaan. Bagaimana mungkin ayah yang sangat kami percaya tega melakukan itu?

Tibalah pada suatu malam, saat ayah pulang ke rumah, ibu langsung mencercanya dengan berbagai pertanyaan. Ayah tak bisa mengelak. Akhirnya dia mengaku kalau dia memang sudah menikah lagi. Ibu langsung berteriak keras dan mengusir ayah dari rumah. Ayah menolak. Dia tak mau pergi meninggalakan rumah. Ibu berteriak makin keras hingga beberapa tetangga datang melihat ke arah rumah kami. Muti dan Aza menangis melihat pertengkaran ayah dan ibu. Sementara itu, aku hanya duduk di sofa sembari memainkan ponsel. Aku cuma mengutak-atik ponsel, sementara pikiranku tidak karuan mendengarkan pertengkaran ayah dan ibu.

Tiba-tiba ibu mengambil sebuah pisau dari dapur. Dia menempelkan pisau tersebut ke batang lehernya, mengancam akan bunuh diri jika ayah tidak pergi. Ayah panik. Dia langsung minggat dari rumah. Muti dan Aza langsung berlari ke arah ibu melepas pisau tersebut dari tangannya. Aku melihat dari kejadian terserbut dari kursi sofa tanpa bisa berbuat apa-apa. Bukannya aku tak peduli, tapi kejadian seperti ini benar-benar di luar dugaanku. Aku tak tahu harus berbuat apa.

Lonceng tanda istirahat berbunyi. Aku berjalan ke kantin. Beberapa siswa sudah antri menunggu giliran untuk membeli nasi goreng atau makanan lainnya. Ketika antri, aku baru sadar kalau uang yang aku punya bahkan tak cukup untuk membeli sarapan. Akhirnya aku keluar dari antrian, kembali ke kelas. Ya, hari ini sepertinya aku puasa saja. Uang di saku cuma cukup untuk membayar ongkos pulang.

Seketika aku terpikir bagaimana mirisnya nasib keluargku. Apalah yang istimewa dari keluarga ini? Aku hidup dalam kemiskinan bahkan sejak aku masih kecil. Ayah cuma seorang kuli bangunan. Itupun tidak setiap hari dia dapat panggilan kerja. Uang pas-pasan. Kalau jajan harus benar-benar di hemat. Kami tidak bisa bermimpi untuk membeli barang yang kami mau. Jangankan untuk membeli barang-barang, untuk bisa makan sehari saja kami sudah sangat bersyukur.

Dan ditambah lagi dengan kekacauan yang ayah buat. Bukankah dia tahu kalau untuk menghidupi kami saja dia harus banting tulang? Bukankah dia tahu kalau untuk mendapat sesuap nasi saja dia harus memeras keringat? Lalu kenapa dia begitu tega menikah lagi dengan si Janda itu? Aku tidak habis pikir. Padahal selama ini ibu selalu setia mendampingi ayah dalam susah dan senang. Meskipun miskin, tapi kami berusaha sekuat mungkin agar tawa dan senyum tetap terukir dalam keluarga ini. Tapi kenapa?

Sudah seminggu lebih ayah tidak pulang ke rumah. Sudah seminggu lebih ibu larut dalam kesedihannya. Lihatlah, bahkan air mata ibu sudah tak lagi jatuh dari pelupuknya. Cuma tersisa isakan. Tubuhnya kurus. Ibu tak pernah benar-benar menghabiskan makanannya. Aku sangat khawatir dengan keadaan ibu. Aku memanggil bidan untuk memeriksa keadaan ibu. Sang Bidan bilang ibu harus banyak mengkonsumsi makanan sehat supaya bisa pulih. Sebelum pergi, sang Bidang memberikan beberapa butir obat yang harus dimakan oleh ibu.

Pada suatu pagi di hari minggu, tepat lima belas hari setelah kejadian malam itu, ibu memanggil kami bertiga ke kamarnya. Sepertinya ada yang akan ibu sampaikan. Ibu tak lagi menangis. Tapi aku masih bisa melihat sisa-sisa kesedihan di pelupuk matanya. Sebelum bicara, ibu memintaku untuk memberinya segelas air putih. Tanpa pikir panjang, aku langsung melakukannya.

“Hamdi,” kata ibu dengan suara pelan setelah meneguk air putih yang kuberikan. “Tadi ibu sudah menelpon pamanmu yang tinggal di Bandung. Ibu sudah menceritakan semuanya. Dan dia dengan senang hati menerima ibu tinggal di sana. Ibu sudah tak mau lagi tinggal di rumah ini. Terlalu banyak kenangan yang mengingatkan ibu dengan ayahmu. Kamu jagalah adik-adikmu dengan baik. Ibu akan kirimkan uang tiap bulan untuk kalian.”

Aku tertunduk. Diam. Tanganku memijat tangan ibu yang kurus. Aku tak tahu harus merespon seperti apa.

“Kapan ibu akan pergi?” tanya Muti.

“Besok sore.”

“Lalu bagaimana dengan kami?” tanya Aza. “Siapakah yang akan memasak untuk kami? Tak ada yang bisa memasak seenak masakan ibu.”

Ibu tersenyum. “Muti, kakakmu, kan bisa masak. Masakan kakakmu tak kalah enak loh dibandin Ibu.”

“Tapi kalau ibu pergi, kami tak akan punya siapa-siapa lagi di sini,” balas Aza. “Ayah sudah pergi, sekarang ibupun mau pergi. Kami sudah seperti anak yatim piatu saja.”

“Aza, tolong jaga mulutmu!” timpal Muti. “Tidakkah kamu mengerti perasaan Ibu? Kamu jangan egois.”

“Tidak apa-apa,” balas Ibu. “Ibu tahu ini berat bagi kalian. Tidak mudah hidup tanpa orang tua, itu memang benar. Tapi kalau tinggal di sinipun, ibu tak bisa membiayai sekolah kalian. Di Bandung, pamanmu sudah menyediakan pekerjaan yang baik untuk Ibu. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. Kalian harus sekolah yang rajin supaya kelak jadi seseorang yang berhasil. Kalian harus bisa merubah keluarga ini. Dan ibu akan berjuang sekuat tenaga untuk itu.”

“Lalu bagaimana dengan ayah?”

“AZAAA!!!”

*****

Lonceng tanda pulang berbunyi. Jam dinding sekolah menunjukkan pukul tiga. Aku harus bergegas pulang. Aku harus cepat. Aku tak ingin ibu pergi tanpa ada aku yang mendampinginya. Aku melambaikan tangan ke jalan. Seorang abang tukang ojek tiba-tiba menepi.

“Kampung Aur, bang!”

Abang tukang ojek lansunng bergegas mengantarku pulang. Entah kenapa hatiku tiba-tiba berdebar. Apakah ibu benar-benar akan pergi? Apakah ibu benar-benar akan meninggalkan kami? Sepanjang jalan aku sangat khawatir. Aku menyuruh abang tukang ojek supaya membawa motornya lebih cepat. Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Akhirnya aku sampai di rumah. Di depan rumah sudah berdiri sebuah mobil travel minibus hitam. Dan Ibu, sudah berdiri di depan teras rumah dengan sebuah tas dan koper.

Tanpa kusadari, air mataku tiba-tiba keluar. Aku tak ingin ibu pergi. Kami semua masih kecil-kecil. Aku, anak pertama, masih berada di bangku SMA. Bagaimana mungkin aku sendiri bisa memimpin adik-adikku. Aku berjalan kearah ibu sambil mengusap air mata. Muti dan Aza berdiri di belakang Ibu. Ibu menatapku dengan matanya yang sayu. Entah kenapa aku merasa ini adalah keputusan yang salah. Tidak. Tidak boleh. Ibu tidak boleh pergi.

“Ibu sudah mau pergi?” tanyaku.

Ibu mengangguk. “Jagalah adik-adikmu dengan baik. Ibu percayakan mereka padamu.”

“Jangan, Ibu,” balasku. “Jangan pergi. Tetaplah disini bersama kami.”

Air mataku mengalir makin deras. Aku sudah tak peduli lagi. Ibu tidak merespon kata-kataku. Pak supir sudah sedari tadi memanggil ibuku untuk segera masuk ke dalam mobil.

“Kita boleh miskin, tapi janganlah sampai keluarga kita terpecah belah.”

Ibu tidak menjawab. Dia hanya diam.

“Hamdi sudah minta pak Bambang untuk mengizinkan kerja di tambak ikannya. Sepulang sekolah Hamdi akan kerja di sana. Jadi ibu tak usah pergi ke Bandung. Tetaplah disini, tetaplah bersama kami.”

“Ibu,” kata Aza. “Azapun akan cari kerja untuk bantu-bantu keluarga ini.”

“Muti juga!”

“Kami sayang sama Ibu. Cuma ibulah yang kami punya di sini. Jadi, janganlah ibu tinggalkan kami. Biarlah kita miskin, asal kita masih bisa terus bersama.”

Tiba-tiba ibu menangis dan memeluk kami bertiga. Ibu memberikan aba-aba kepada sang Supir Travel untuk tak jadi pergi. Ibu akhirnya memutuskan untuk tetap bersama kami. Aku sedih dan senang di waktu bersamaan. Aku berjanji, Ibu, kelak aku akan merubah keluarga ini.  Aku akan menaikkan derajat keluarga kita. Aku akan membuat ibu bahagia. Aku berjanji.

Saat itu juga, aku, muti, dan Aza, berjanji akan membuat ibu bahagia. Kami tak akan membuat ibu menangis lagi. Masih ada harapan di keluarga ini. Dan kami bertiga, pasti akan mewujudkannya.

*****