Oleh: Kurnia Ramadhani, S.Pd.
(Juara 3 Lomba Menulis Cerpen Guru dan Pegawai Parabek Februari 2022)
“Kau benar-benar tidak berguna. Apa saja yang kau lakukan beberapa bulan ini? Kenapa? Kau kecewa? Marah? Mau menyalahkan siapa? Oh, kau bilang ini karna mereka yang tidak peduli padamu? Karna mereka yang tidak pernah bertanya?Arrghhh….Kau..payah sekali..”
Perempuan itu terus merutuki dirinya di depan cermin yang permukaannya tidak semulus ketika ia mendarat di kamar itu. Penuh debu juga percikan noda yang mungkin tak sengaja menempel ketika dia merias wajahnya dulu. Sudah sebulan lebih dia mengurung diri di kamar sempit berukuran 3 x 2 lebih sedikit. Bangun sebentar hanya untuk ke kamar kecil, lalu dia kembali merebahkan badan di kasur yang mulai menipis, saking tipisnya punggungnya sering sakit jika sudah lama berbaring di sana.
Matanya menatap nanar ke lampu delapan belas watt yang menerangi kamarnya. Sudah pukul 12 siang, tak satu teguk air pun yang sudah melewati kerongkongannya, pun sebulir nasi. Tidak ada, tidak ada secercah cahaya di matanya. Baginya tidak ada gunanya mencoba apapun. Bahkan untuk mengisi perutnya. “Untuk apa? Buat apa aku makan, toh tidak ada yang bisa ku lakukan lagi. Hhhhhffftt….buat apa hidup? Aku bukan diriku lagi, aku tidak tau apa-apa lagi..”
Perempuan itu sudah melewati banyak hal. Dia bukanlah seorang putri yang tinggal di istana mewah. Dia tidak melewati jalanan lapang juga penuh bunga ke rumahnya. Dia juga tidak mengenal apa itu baran-barang yang sedang naik daun pada masanya. Dia jauh tertinggal. Segala hal yang tidak cukup adalah segala yang dia punya. Bukan, bukan karna dia tidak berterimakasih kepada Tuhan-Nya. Dia hanya tidak pandai membaca dunia. Dia tidak mengenal begitu banyak rupa-rupa. Baginya hanya ada satu hal yang pasti. Jika dia baik pada manusia, dia kan dapat kembalian yang sama.
Beberapa bulan belakangan ini, banyak hal yang menyapa kehidupannya. Kehidupan yang baginya adalah tentang bagaimana mencari bahagia. Dia bertemu banyak manusia. Dia dihadapkan pada kondisi penuh luka dan air mata. Pada hari-hari hanya wajah murung dan suram. Hingga dia bahkan lupa bagaimana cara tertawa. Dia tidak pernah menduga dan membayangkan di kepalanya bahwa dunia tidak seperti yang dia kira. Tentu akan ada suka duka, tapi baginya mencoba bahagia adalah segalanya.
Setahun yang lalu, dia bertemu seorang teman baru. Baginya yang biasa tinggal di kampung dan sering di kucilkan sewaktu masa kanak-kanak tentu begitu sumringah seketika ada yang mengajaknya berbicara terlebih dahulu. Dia mendengar dan membalas setiap pembicaraan itu dengan hangat dan penuh asa. Dia merasa berharga sebab akhirnya ada yang mau mendengarkan kisah hidupnya. Kisah hidup yang biasanya hanya ada di ruang-ruang ingatannya. Pertemanan itu begitu dia puja. Dia mencoba sepenuh hatinya untuk slalu ada jika temannya itu butuh apa atau kemana. Hingga pada suatu masa, apa yang dia jaga itu menjadi awal kehancuran jiwanya.
——-
“Kamu aneh. Maaf yaa, kita gak bisa berteman. Kamu gak tau banyak hal. Bahkan kamu tidak punya smartphone? Eh, kita ini bukan hidup di jaman batu. Lagian kita juga udah mahasiswa, masak gaptek amat si? Kamu bahkan gatau apa itu google. Sori..sori banget, aku malu, to be honest. Gengsi sama temen-temen yang lain. Kamu gak nyambung. Apa-apa hah heh hah heh,, aduuh plis deh. Maaf ya Yesi. Kamu gak sama dengan aku. Sori..kalau kamu tersinggung..aku cabut..bye..”
Yesi. Sejak mereka berteman di awal semester ia masuk kuliah di kampus, baru sekali itu Clara memanggil namanya. Selama ini Clara selalu memanggilnya dengan “Hei” saja. Dia berpikir mungkin memang begitu cara Clara menyapa. Tapi, dia mulai memahaminya. Perempuan itu lama terdiam, tangannya meraih botol minum yang terjatuh saat Clara tiba-tiba menyerangnya dengan rentetan kata-kata pahit. Dia berbalik arah, hatinya yang sebelumnya riang karna hari ini adalah gilirannya untuk presentasi di kelas. Dia sudah mempersiapkannya dengan sangat baik selama beberapa hari ini. Hatinya berubah hancur. Rasanya perih sekali. Perlahan derai tangis mulai membasahi wajahnya. Dia menyeka air matanya sambil berlari meninggalkan kampus. Pun hujan seketika turun seperti memahami bahwa ia juga sedang tidak baik-baik saja.
——-
“Yesi.. kamu ndak pulang , nak? Sudah libur semester ini kan? Kamu ngapain kok lama sekali di kos nya?” tanya perempuan baruh baya di balik telepon. Ia adalah ibunya.
Perempuan itu menutup teleponnya perlahan. Pikirannya melayang jauh membayangkan apa yang akan dipikirkan orang tuanya jika mereka tau bahwa dia gagal. Bahwa dia bukan lagi anak kampung yang biasa juara kelas. Bahwa ia bukan lagi anak kampung yang bisa membanggakan orang tuanya.
Enam bulan ini sejak terakhir Clara mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya, dia mulai uring-uringan untuk datang ke kampus. Dia kehilangan kepercayaan dirinya. Dia malu bertemu semua orang apalagi lagi berbicara di depan mereka. Hingga akhirnya dia melewatkan jadwal perkuliahannya bahkan jawal ujian akhir semester. Semua itu mengakibatkan dua mata kuliah penting di jurusannya gagal dan di haruskan mengulang di semester depannya. Dimana itu berarti harapannya lulus kuliah 4 tahun sudah pupus. Belum juga beasiswa yang dia dapatkan hanya menampung untuk 8 semester. Itu artinya dia harus membayar uang kuliah sendiri di tambahan semester nantinya. Dia panik dan gusar memikirkan itu semua. Ayahnya pasti akan kecewa dan marah sekali. Keluarganya di kampung dapat makan sehari-hari hanya dari hasil sawah yang tidak seberapa. Dia bisa kuliah pun juga karna ada beasiswa. Pikirannya kalut sekali. “Aku harus bagaimana….” desahnya.
——
Libur semester sudah berlalu dua minggu. Perempuan itu masih berbaring lemah di kasurnya, di kamar sempit yang tampak sembrawut. Bahkan piring bekas makannya beberapa minggu yang lalu sudah mulai berjamur tebal lengkap dengan bau tidak sedapnya.
“Apa lagi? Apa aku harus pulang? Aku sudah gagal. Tidak ada harapan lagi.. Ayah dan Ibu pasti akan membenciku. Mereka pasti sangat kecewa….hiks”
——
Perempuan itu mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum, Bu, Yah..”
“Wa’alaikumussalaam..Alhamdulillaah sampai di rumah, gimana di jalan, aman? Kamu sudah makan,nak? Yuk makan dulu. Ibu masak ayam goreng kesukaanmu loh”
“Baik, Bu..”
Makan siang itu berlalu dengan suasana hening. Ia belum siap untuk menceritakan segalanya.
——
Selepas Maghrib, Ia masih terduduk lama di sajadahnya. Ibunya yang duduk di sebelahnya pun masih khusyuk berzikir mengagungkan nama Sang Pencipta. Ia menggigit bibirnya, tangannya menggenggam erat ujung mukena. Ingin sekali ia memecahkan keheningan itu. Tapi mulutnya terkatup rapat. Berat sekali..
“Nak, kamu kenapa? Mau cerita sama Ibu?” begitu lembut Ibunya berbicara sambil mengelus tangan putrinya.
Ia tercagut, napasnya terasa sesak sekali. Perlahan dia mencoba tuk bersuara..
“Bu, maaf.. Yesi gagal. Yesi gak bisa lulus kuliah empat tahun. Yesi mengewakan Ayah dan Ibu. Yesi bukan anak yang baik, Yesi gak tau diri sekali Bu.. Ibu pasti marah dan kecewa sekali kan.. Ibu pasti benci sama Yesi kan Bu? Ibu pasti malu sama tetangga kita.. Ibu…Ibu pasti…”
Ibu mendekatkan badannya ke Yesi, dia mengelus lembut kepala anak semata wayangnya itu. “Nak…tidak apa-apa. Kamu sudah berjuang. Ayah dan Ibu akan slalu bangga padamu. Ayah dan Ibu akan slalu percaya sama kamu, apapun yang terjadi..semua karna Tuhan kita, semua atas kehendak-Nya. Siapa yang kecewa? Tidak ada…Ayah dan Ibu sangat menyayangimu, Nak…Kamu kuat-kuat yaa..Ayah dan Ibu di sini…”
Yesi merasakan seketika batu besar yang membebani kepalanya selama ini pecah dan menguap. Tidak ada membekas sedikitpun. Hatinya hangat. Lubang penuh kecewa dan rasa bersalah yang dia simpan selama ini seketika utuh kembali. Air matanya kembali berjatuhan, kali ini bukan karna dia sedang berduka lagi. Ini adalah air mata penuh kelegaan dan syukur, bahwa tidak penting betapa hancur hatinya. Seberapa buruk orang-orang melihatnya. Seberapa aneh dan tidak biasa ia di mata mereka. Ia slalu punya rumah teraman dan bahagia. Rumah itu adalah keluarga. Yang kan slalu ada di saat terbaik atau terburuknya. Mereka yang slalu akan percaya dan bangga.
Yesi. Hari itu dia kembali menemukan dirinya. Kali ini bukan Yesi yang kecewa pada dunia. Bukan, tapi Yesi kan percaya pada kehendak Tuhan-Nya dan baiknya orang-orang terkasih yang akan slalu memberinya percaya.
“Esok pasti kan bahagia”
Perempuan itu menutup halaman buku lamanya sembari melangkah penuh keyakinan menuju halaman-halaman baru selanjutnya. Kali ini, ceritanya pasti kan berbeda. Dia percaya.
Selesai.
***