CERPEN : UKHUWAH YANG TERNODAI

Oleh : Dra. Deswati

Kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra merupakan pilihan Aisyah. Tamat dari SMK Aisyah memutar haluannya masuk ke jurusan pendidikan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini terjadi karena musibah, ya musibah. Ia tidak lulus masuk jurusan Ekonomi. Satu-satunya jurusan yang menarik hati Aisyah adalah Sastra. Ia ingin menikmati hidup agar terasa lebih indah.

Aisyah berusaha keras untuk menamatkan kuliahnya tepat waktu. Bersama teman-teman gengnya, mereka saling bersaing untuk dapat nilai terbaik dan menyelesaikan kuliah dalam waktu empat tahun. Novi, Dewi, dan Neni adalah sahabat sejati. Mereka berempat seiring sejalan, sama makan, sama belajar, bahkan kadang-kadang sama tempat tidur. Rumah Aisyah menjadi tempat persinggahan. Aisyah satu-satunya yang tinggal bersama orang tuanya. Selebihnya anak rantau yang berjuang jauh dari orang tua dan keluarga.

Sebagai anak pertama yang menjadi teladan bagi adik-adiknya, Aisyah tidak mau larut terlalu jauh dalam pergaulan yang penuh hura-hura. Ia cukup tahu diri. Ia bukan orang kaya, ia harus cepat tamat dan bisa bekerja.

Novi temannya adalah anak tunggal dan orang tuanya punya usaha yang cukup besar di Jambi sana. Namun begitu Novi bukanlah anak cenggeng, ia anak sangat patuh dan berbakti. Ia menjadi motivator terbaik bagi Aisyah. Seorang gadis yang cantik, baik, kaya, tetapi tetap rendah hati. Ia ingin menunjukkan pada orang tuanya, bahwa sebagai anak tunggal, ia pun bisa dibanggakan.

Neni berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai warung kecil di rumahnya. Ayahnya seorang supir angkutan antarprovinsi. Ia punya tiga orang saudara kandung.

Dewi, kehidupan keluarganya tidak berbeda jauh dengan Aisyah. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayah seorang PNS, dan ibunya ibu rumah tangga. Latar belakang itulah yang membuat mereka menjadi teman dekat, karena punya visi dan misi yang sama, yaitu cepat menyelesaikan kuliah.

Persaingan keempat sahabat ini awalnya tidak begitu terlihat. Mereka lebih seperti saudara yang sangat akrab. Keakraban ini menjadi perhatian semua orang. Di samping cantik, mereka sangat baik dan ramah pada setiap orang. Persaingan antarsahabat ini mulai terjadi pada semester tujuh di tahun ketiga perkuliahan, pada saat akan mengikuti Praktik Lapangan.

“Aisyah, kita ditempatkan di SMAN 3,” kata Novi dengan penuh antusias.
“Serius?” tanya Aisyah singkat karena ia sedang sibuk menyusun perangkat mengajar yang akan digunakan untuk PL.
“Berarti, saya bisa dong memakai perangkat yang kamu buat ini?” katanya ringan.
“Enak aja, buat sendirilah, masak mau enak sendiri,” kata Aisyah sambil memasukkan laptop dan perangkatnya ke dalam tas.
“Please dong,” kata novi merapatkan kedua tangannya dan memohon kepada Aisyah.

Aisyah menarik tangan Novi dari ruang dekan. Mereka bergandengan menuju kelas untuk menyiapkan segala keperluan PL, termasuk surat menyuratnya. SMAN 3 merupakan sekolah favorit di kota Bukittinggi. PL di sekolah favorit merupakan tantangan yang lumayan berat karena anak-anak yang sekolah di situ diseleksi secara ketat. Dapat dipastikan anak-anak yang sekolah di situ bukan sembarangan. Kalau bekal ilmu alakadarnya, berarti itu bunuh diri. Aisyah berusaha keras untuk tampil maksimal.

Selama PL, Novi lebih banyak nginap di rumah Aisyah. Mereka mengerjakan tugas dan segala kegiatan PL bersama. Aisyah sangat ahli membuat media pembelajaran, karena memang tulisannya rapi dan bersih. Ini menguntungkan Novi, ketika ia masuk ke kelas lain, ia bisa memanfaatkan media dan perangkat Aisyah. Bagi Aisyah bisa membantu sahabatnya, merupakan suatu kebahagiaan, bahkan sampai ke soal-soal pun Novi tinggal copy paste yang sudah dikerjakan Aisyah.

“Aisyah, aku pinjam ya, soal dan media surat lamaranmu?”
“Ambil aja di atas meja!” kata Aisyah
“ Makasih, ya Cantik!” kata Novi mengeluarkan rayuan mautnya.
“No problem,” jawab Aisyah sambil terus mengetik perangkat yang akan dijadikan bahan ujian PL nya. Novi lebih banyak tinggal di rumah Aisyah, di samping untuk menyiapkan bahan PL, bisa juga menghemat pengeluaran. Maklumlah anak rantau. Ibu Aisyah sudah menganggap Novi seperti anaknya sendiri. Beliau bahagia kalau Aisyah ada teman untuk begadang menyelesaikan tugas praktik lapangannya.

Dua bulan mereka lewati dengan aman, tanpa kendala yang berarti. Bahkan anak-anak tempat mereka praktik sangat suka dengan cara Aisyah mengajar. Ia seperti idola di kalangan anak-anak.

“Ibu, kami ingin Bu Aisyah tetap mengajar kami,” kata Hanafi di sela-sela jam istirahat. “Iya,” lanjut Dodi, menimpali.
Aisyah hanya menanggapi dengan senyuman. Ia tahu ilmunya belum cukup untuk menjadi guru betulan. Aisyah tidak hanyut dengan pujian itu. Ia menyadari bahwa ia harus terus belajar.

Di bulan ketiga Aisyah didatangi dosen pembimbing beserta guru pamongnya di kelas untuk memberikan penilaian. Aisyah sudah berusaha mempersiapkan segala sesuatunya secara maksimal. Dosen pembimbing menyalami Aisyah setelah selesai menyampaikan materi ‘Teks Eksplanasi”. Bu Nelfia berbisik pada Aisyah “Mantap”, katanya dan keluar dari kelas XI IPA I. “Terima kasih, Bu” kata Aisyah sambil menutup pembelajaran.

Keesokan harinya giliran Novi yang tampil. Aisyah, Bu Nelfia, dan Bu Yani duduk di belakang. Aisyah sibuk memperhatikan Novi. Bu Nelfia dan Bu yani sibuk memberikan penilaian, mulai dari perangkat, media, penampilan, dan cara mengajarnya. Bel berbunyi dan pembelajaran berakhir, terlihat Novi sangat lega.

Sampai di kantor, Novi dipanggil bu Nelfia. Aisyah menunggu di aula. Sepulang sekolah Novi menceritakan bahwa ia tadi ada yang salah dalam penyampaian materi. Ia ditegur Bu Nelfia dan harus meralatnya lagi ketika masuk kelas itu berikutnya. “Aku ikut sedih,” kata Aisyah. Walaupun ia tahu kesalahan yang dilakukan Novi, tapi ia tidak mau menyakiti hati sahabatnya itu.

Malamnya Aisyah dan Novi sibuk mengoreksi hasil ujian anak-anak. Setelah disusun dan diurutkan per kelas berdasarkan urutan absen nilai tersebut direkap. Nilai tersebut akan mereka serahkan kepada guru pembimbing untuk melengkapi penilaian PL mereka.

Novi merencanakan untuk menyerahkan nilai ke rumah Bu Yuni sebagai guru pamong mereka. Ternyata Bu Yuni sedang keluar, terpaksalah nilai tersebut dibawa lagi, takut hilang. Keesokan harinya jam 3 sore, Novi pamit pada Ibu Aisyah,
“Ibu, Novi mau ke tempat kos dulu, kebetulan Ibu dari kampung akan datang.”
“Iya, Nak. Hati-hati ya, dan salam untuk ibumu.” Setelah menyalami Ibu Aisyah, Novi berlalu meninggalkan Ibu yang masih mengiringi kepergian Aisyah dengan matanya.
Sudah seminggu ini Novi tidak muncul-muncul lagi di rumah Aisyah. Mereka bertemu di sekolah tempat praktik saja.
“Vi, kapan nilai praktik kita serahkan pada Bu Yuni?” tanya Aisyah.
“Biar ajalah saya yang menyerahkan,” kata Novi singkat.

Sampai acara perpisahan Novi tidak lagi datang ke rumah Aisyah. Di acara itu, anak-anak melepas guru praktik dengan haru. Mereka bersalaman dengan anak-anak dan guru+-guru. Walaupun sangat sederhana, acara berjalan dengan khidmat.
*

Hari Senin semua mahasiswa yang sudah menyelesaikan tugas praktik berkumpul di kampus. Aisyah dan tiga teman dekatnya sibuk berbagi pengalaman. Dewi, Novi, dan Neni bercanda tanpa henti, seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Tiba-tiba terdengar suara Bu Nelfi memanggil Aisyah.

“Aisyah, suara Bu Nelfia membuat semuanya terdiam, Aisyah langsung mengikuti Bu Nelfia dari belakang.
“Aisyah, kok nilai PL mu rendah dari Novi yang dikasih guru pamong? Padahal waktu praktik penampilan kamu sangat sempurna.” Aisyah terdiam.
“Aisyah, nggak tau, Bu. Padahal semua perangkat, media,nilai, absen ada Aisyah buat Bu,” jawab Aisyah dengan wajah menghiba.
“Sudahlah, jangan khawatir. Ibu yang akan menilai semuanya. Kamu tenang aja,” kata Bu Nelfia.

Pulang kuliah, Aisyah langsung naik angkot. Ia bertemu dengan Bu Yuni, pembimbingnya. Aisyah menyapa dan menyalaminya.
“Aisyah, kamu kemarin kok nggak menyerahkan rekap nilai kelas XI IPA I?”
“Novi datang ke rumah Ibu seminggu sebelum perpisahan untuk menyerahkan nilai.”
“Saya udah datang ke rumah Ibu bersama Novi, tapi Ibu nggak di rumah. Novi menawarkan biarlah dia aja yang akan melewatkan punya Aisyah katanya.”
‘Masak iya yang punya Aisyah nggak dikasihkan Novi?’ kata Aisyah membatin.
“Nggak ada dikasihkan pada Ibu,” kata Bu Yuni kebinggungan sendiri.
“Sudahlah,Bu. Nggak apa-apa,” kata Aisyah berbesar hati menerima pengkhianatan teman dekatnya.

Bulir bening jatuh dari matanya. Bukan karena nilainya yang rendah, bukan karena ia ditegur Bu Yuni karena tidak menyerahkan nilai, tetapi karena teman dekat yang sama-sama tempat tidur, sama-sama makan, sama-sama bercanda, tega melakukan itu. Aisyah beruntung ada Bu Nelfia yang tau pasti kemampuan Aisyah dan menyelamatkannya. Ternyata Allah begitu adil menyelesaikan masalah ini.
Di dalam lubuk hatinya Aisyah berucap, “Aku telah memaafkanmu Novi, semoga Allah mengampunimu.