Oleh : Hilma Permata Suci, S.Pd
Tetesan hujan tak pernah meminta ia akan jatuh dimana. Dentingan piano tak pernah menyangka ia akan melahirkan nada yang seperti apa. Termasuk aku yang tidak bisa memilih Tuhan mengaitkan hatiku dengan kamu yang apa adanya. Lukisan takdir tak disangka membuat setapak demi setapak jalan hidup kita lalui bersama hingga si sederhana yang selalu kubanggakan lemah tak berdaya dengan sakit yang dideritanya. Derita? Satu kata yang membuatku terbiasa dengan kehidupan sederhana kami menjadi sulit ketika semua beban harus kupikul sendiri di pundak. Hinaan, pengabaian, dan cacian sebagai nilai tambah ketika status ekonomi kehidupan sudah kalah saing saat menghadapi penyakit suamiku yang terus memburuk. Dunia tak bisa kau atur. Sebagaimana lentikan jemarimu begitu juga manusia tak bisa kau paksa percaya dengan derita hidupmu. Seperti keyboard yang percaya layar display akan bekerja sesuai ketikannya.
Waktu berlalu hingga hidup ini semakin sulit. Aku harus bekerja dari pagi hingga sore. Namun kebutuhan dan biaya pendidikan anak-anakku membuatku terpaksa harus mencari tambahan pekerjaan sampingan sebagai ikhtiar kehidupan keluarga kami terus berjalan. Aku mulai mencari referensi untuk berdagang online dan aku mulai menawarkan berbagai barang harian.
Bukan, bukan ini yang membuat dada ini sesak, tapi tidak semua orang percaya dengan masalah kesehatan suamiku. Bagi mereka ini hanya sakit biasa yang terlalu aku ekspose berlebihan. “Ah, biarlah! Toh hanya aku yang akan memikul beban ini bukan kalian!” ketika aku lelah aku bisikkan ini dalam hati dan memohon pada Tuhan semoga mereka benar: penyakit suamiku tidak separah mataku melihatnya, suatu saat si sederhanaku yang hebat bisa kembali tangguh untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan kami berlima.
Sayangnya, pikiranku dan mataku tidak pernah seiring bagai dua kutub yang harusnya sama-sama tarik menarik tapi medan magnet membuat keadaan bertolak belakang. Setiap malam suamiku mengerang menahan sakit. Ia meronta-ronta menahan perih di dadanya hingga kulihat ia merangkak kesakitan mencariku sepulang sekolah. Kupeluk ia erat-erat berharap sakit itu akan sedikit berkurang. Namun, hati ini yang teriris perih melihat derita yang ia tanggung. Kuusahakan semua pengobatan walaupun pemenuhan kebutuhan rumah kami bagai gali lubang tutup lubang. Aku perlihatkan aku yang kuat ketika aku menghadapi murid-muridku di sekolah sebagaimana aku kuatkan tanganku bekerja sepulang sekolah agar dapurku tetap mengepul. Aku tak pernah membiarkan jam kosongku untuk beristirahat. Kuusahakan berjualan online disemua media sosial, namun Tuhan pun selalu memberikanku tantangan yang luar biasa. Sekolah anak-anakku yang selalu kuprioritaskan sekarang kuabaikan dengan mengalihkan pada biaya pengobatan suamiku hingga air mata tak terbendung ketika mengambil rapornya ia hanya bisa tertunduk bisu ketika gurunya di sekolah memberikan pujian atas prestasinya tapi tidak memberikannya bukti karena terkendala surat dispensasi dan dispensasi.
Keesokan harinya, kucari kedai-kedai di sekeliling sekolah kami yang bisa menerima dagangan makanan kecil yang bisa kubuat pagi sebelum bersiap-siap ke sekolah. Hingga ibu baik hati itu bisa menghibur sedikit kecemasanku tentang biaya anak-anakku. Hari itu kulihat sikecilku pulang dengan bangga membawa rapor bukti prestasi hebatnya. Andaikan kau tau Nak, senyummu sudah terlambat, kebanggaan yang ingin kulihat terlalu telat. Maafkan Ibu, Nak!
Semakin hari keadaan suamiku semakin memburuk hingga harus kupapah ke kamar mandi. Kualihkan pikiranku ketika ia meronta-ronta kesakitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk. Ingin kuteriakkan pada dunia betapa pahit beban yang kupikul tapi percuma karena jangankan bantuan yang kudapatkan bahkan dunia menolak semua keluhan-keluhanku “Ah, suaminya hanya terlalu manja” atau “Suaminya hanya ingin menumpukkan semua beban padanya”. Kata-kata yang hanya kuizinkan lewat telingaku tanpa kubiarkan lewat di pikiranku. Hidup ini terlalu lelah tanpa kubiarkan kata-katanya melewati hati dan pikiranku.
Hingga angin sejuk mulai berhembus pagi itu. Namaku adalah salah satu guru yang diajukan sebagai peserta seleksi untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi. Sungguh aku sangat membutuhkan suntikan dana seperti ini untuk pengobatan suamiku dan biaya sekolah anak-anakku. Sebelum tes dimulai, aku harus memenuhi beberapa persyaratan dan harus melihat langsung kelapangan bahan-bahan untuk persiapan tes yang kujalani. Ketika sekolah butuh bantuan untuk cek lapangan persiapan tes dengan sangat bersemanngat aku mengajukan diri membantu sekolah untuk cek lapangan persiapan tes itu. Di hatiku hanya ada bisikan “Aku harus bersemangat! Aku harus lulus dalam seleksi itu! Aku butuh informasi lengkap untuk tes itu dan aku akan menyelesaikan dengan sempurna.” Ingin rasanya sedikit beban ini berkurang.
Sorenya aku pulang dengan wajah berbinar dengan harapan demi harapan menghiasi pikiranku. Kuketuk pintu rumah mungil dengan susunan papan-papan panjang dihiasi lobang-lobang di antara penyengganya. Jika kau kedipkan sedikit matamu ke sudut papan-papan itu, akan terlihat ruangan kecil yang hanya dihiasi tikar panjang tempat sikecil-kecilku bercanda denganku. Ketika pintu terbuka, kulihat sudut demi sudut hingga kutemukan suamiku lemah tak berdaya menahan sakitnya. Kubaringkan kepalanya kuusap-usap tanpa sedikitpun bisa menguranngi sakitnya. Kubisikkan kalimat syahadat ditelinganya tanpa setitikpun bisa lewat airmata menembus hatiku yang lunak menjadi keras menghadapi dunia ini. Malam itu, tugasnya selesai menemani perjuanganku. Dekapan anak-anakku membuatku berasa hilang sejenak didunia ini. Akhirnya, malam itu, dunia yang tidak mempercayai derita suamiku melihat kenyataannya, suamiku pergi selamanya meninggalkan kami semua.
Hari itu kulihat bagaimana sekelilingku menangis untukku. Hari itu dunia terasa terhenti untukku tapi yang terbiasa kupanggil rekan kerja kulihat mereka sangat bersahaja, yang biasa kupanggil teman hari itu kulihat seperti pahlawan seakan Allah ingin aku terbangun dari kesakitan. Kurasakan mereka yang kusebut teman satu per satu memeluk pundakku erat menghaturkan kata-kata penuh kekuatan. Hari itu seakan mereka melihat hatiku hancur. Harapanku kandas. Tempat bersandarku pudar tapi mata mereka menyiratkan kata “Kuatlah! Kita keluarga”.
Semua pikiran buruk berkecamuk di kepalaku, “Bagaimana aku akan membesarkan mereka sebagai amanah terakhirku? Bagaimana masa depan mereka bersandar pada tubuh kecilku yang lirih?” Tapi sangatlah benar jika Allah akan selalu memberikanmu pengganti harapan baru yang mungkin tak kau tunggu tapi Allah selalu menyiapkannya untukmu. Setiap anak-anakku membutuhkan dana selalu saja datang ke lapangan dalam sesaknya tekanan. Teman-temanku mungkin mereka tidak selalu membutuhkan perlengkapan online yang kujual tapi mereka selalu memesan tanpa henti hingga kupikir mereka mungkin tidak terlalu memerlukan tapi mereka selalu memberikan orderan.
Yaa Allah, hidup ini mungkin sulit, kemudian kau membuatnya sedikit berbelit, tapi akan selalu ada pereda sakit ketika niatku baik akan selalu ada harapan ketika doa kupanjatkan. Terimakasih mereka yang kusebut rekan kerja, terimakasih mereka yang kusebut teman. Susunan papan kayu di rumahku selalu berbisik betapa kalian terlalu baik.