CERPEN : PITALAH 1998

Oleh : Helwati, SH

“Waktunya tinggal 15 menit lagi. Bagi yang sudah selesai agar memeriksa lagi lembar jawabannya,” kata dosen yang mengawas di kelasku.

Aku berusaha secepatnya menyelesaikan semua soal-soal yang diberikan dosenku, sambil sesekali melirik pada sahabatku. Finish, selesai sudah. Tak lama dosenku berteriak, “Waktunya sudah habis. Kumpulkan semua lembaran jawaban kalian!”

Aku pun segera membereskan barang-barang dan segera menghampiri sahabatku. “It. Let’s go, kita berangkat,” kataku sambil berlari-lari kecil di koridor kampus. Di perempatan taman kampus kami berpapasan dengan Dona, temanku.

“Hai El! Hai It! kalian mau berlibur kemana?” tanya Dona dengan suara kerasnya.

Kami pun menjawab, “Kami mau pulang kampung dulu baru nanti direncanakan lagi. Hari juga sudah mulai sore.”

“Don, kamu mau pulkam juga?” tanyaku padanya.

“Entahlah El, rencana aku mau ambil semester pendek. Kamu gimana?”

“Kami pulang kampung dulu kan masih ada waktu 1 minggu lagi. Jadwal kuliah kami pun belum kelar”.

“Oke lah kalau begitu.”

Setelah berbincang dengan Dona kami pun pergi ke pangkalan angkot. Sesampai di terminal kami turun dan lansung naik bus tujuan Bukittinggi. Tak lama menunggu bus pun penuh dan mulai berjalan. Di sepanjang perjalanan kami bercerita dan dikarenakan jadwal hari ini yang padat membuat kami kecapean dan tertidur di atas bus.

“Padang Panjang! Padang Panjang! Padang Panjang!”

Suara itu membangunkan aku dari tidur. Aku menoleh ke kananku melihat sahabatku masih tertidur.

“It! Bangun kita sudah sampai.”

“Ahh.. sudah sampai El?”

Tak lama mobil NPM berhenti di depan kantor Pos Padang Panjang. Kami pun turun. Udara kota ini sudah terasa sejuk dan dingin. Maklumlah kami baru sajadari Kota Padang yang berhawa panas.

“It, kemana lagi kita?” tanyaku pada sahabatku.

“Ayo, ikuti saja nanti kita ketinggalan.”

Aku pun mengangguk dan mengikuti temanku pergi. Kami berjalan dengan sedikit berlari menuju pangkalan angkot. “Pitalah! Gunung Rajo! Pitalah! Gunung Rajo! Oto terakhir!” Teriakan kenek angkot tersebut memanggil penumpang.

“Alhamdulillah, masih ada angkotnya” kata sahabatku.

“Bisa berdua bang?” kata sahabatku

“Pas” kata kenek tersebut.

Kami pun naik. Tak lama mobil angkot berangkat, aku melihat kiri dan kanan di sepanjang jalan. Satu persatu penumpang mulai turun dan tak lama aku mendengar teriakan sahabatku

“Kiri pak.”

Angkot pun berhenti dan kami pun turun.

“Udah sampai kah?” tanyaku kepada sahabatku.

“Belum lagi El, kita harus berjalan sekitar 2-3 kilo lagi,” jawab sahabatku.

“Hah?!! Serius?” ujarku terkejut.

“Iyalah, gimana? Berani?”

“Okee siapa takut” jawabku.

“Lewat mana It?” tanya ku bingung

Di depan ini hanya ada sawah membentang. Aku bingung memangnya rumah nenek It yang mana? Sahabatku itu menunjuk ke depan jauh di tengah sawah yang menghijau. Aku melihat ada rumah di antara sawah tersebut.

“Kita lewat mana It?” tanyaku.

“Ikuti saja jalan pematang sawah ini, nanti juga kita akan sampai di rumah itu.”

It mulai membuka sepatunya karena sehabis hujan jalan pematang sawah menjadi licin dan becek. Aku masih diam terpaku melihat semua ini. Apakah aku bermimpi? Namun tidak lama aku terdiam, temanku mengagetkanku.

“Ayo kita jalan! Nanti kemaleman tambah sepi dan dingin. Karena embun sudah mulai turun. Ikuti aku,” katanya.

Aku mulai membuka sepatu dan berjalan di belakang sahabatku. Awalnya sih aku ragu, tapi sahabatku begitu berani. Aku mulai mengikuti selangkah demi selangkah.

“Hati-hati, liat-liat jalan nanti terpeleset ke masuk sawah” kata sahabatku.

Hanya bercahayakan bulan malam itu kami berjalan. Bintang pun berkelap kelip memamerkan cahaya dan keindahannya. Tak kalah juga suara jangkrik dan katak yang bersahutan. Kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak pematang sawah sambil bersenda gurau dan bernyanyi-nyanyi untuk menghilangkan cemas karena hari sudah semakin malam. Sesekali kami berteriak karena seekor jangkrik dan katak loncat di hadapan kami. Sahabatku tertawa. Tak lama kami sampai dirumah sahabat ku.

“Assalamualaikum Nek…”

Tak lama kemudian pintu terbuka dan terlihat seorang nenek tua yang berdiri di depan pintu dengan tongkat di tangannya. Sambil tersenyum membalas salam kami.

“Waalaikumsalam Nak, kok pulangnya malam-malam sekali. Ini siapa?” kata sang nenek sambil bertanya kepada It.

“Ini sahabatku, El, Nek.”

Aku lansung bersalaman dengan nenek dan berkenalan dengan nenek nya It. “Nek kenalkan El teman sekamar, se kampus, dan sejurusan dengan It”.

“Oh iyaa, yang sering diceritakan Iit. Mari masuk ke dalam Nak.”

Kami pun masuk setelah mencuci kaki di kolam depan rumah. Di meja makan nenek sudah menyiapkan makanan untuk kami.

“Mari kita makan dulu.”

“Iya Nek” tanpa basa-basi lagi kami pun menuju meja makan. Sambil makan kami bercerita dengan Nenek dan disanalah aku merasa begitu dekat dengan Nenek seperticucu pada nenek kandungnya. Keesokan paginya, Nenek mengajak kami untuk ke sawah karena pada hari ini Nenek panen padi di sawah. Hari ini musim panen, begitu asiknya kami di sawah sampai petang pun tiba kami pulang membawa padi ke rumah. Di Pitalah inilah ukhuwah diantara kami terjalin begitu kuat. Tak terasa sudah dua hari aku berlibur di rumah Nenek. Esoknya, aku harus balik ke Bukittinggi. It juga ikut bersama aku ke Bukittinggi dan menyambung mobil ke Lubuk Sikaping tempat mama dan papanya bekerja.

Persahabatan kami berjalan begitu indah. Aku dan Iit seperti saudara, saling menolong, menyayangi, menjaga, dan menasehati jika ada salah diantara kami sampai saat ini. Walau pun kami terpisah oleh daerah tetapi ukhuwah di antara kami tetap terjalin.