Oleh : Muhammad Risal, S.H.I
“Pakailah hijabmu!”
Teriakan Kyai Abbas hingga sekarang masih terngiang di telingaku. Bentakan tegas itu diucapkannya seketika aku baru saja menapak di Pondok Pesantren Karim Syu’aib. Aku masih begitu ingat, ketika itu aku masih berumur 18 tahun. Ketika aku masih super nakal dan terlalu bersemangat dengan kondisi-kondisi liar yang belum aku ketahui saat itu. Kekhawatiran itu pulalah yang memaksa kedua orang tuaku berkehendak untuk mengantarkan aku kepada Kyai Abbas.
Kyai Abbas adalah pimpinan pengasuh Ponpes Karim Syu’aib. Beliau sudah 45 tahun mengabdikan hidupnya di ponpes itu. Setahu ku, beliau dahulu juga santri alumni Ponpes Karim Syu’aib. Ketika usianya 28 tahun, ia diminta Buya Syarifuddin Jarak― sesepuh ponpes saat itu untuk menggantikannya mengasuh para santri. Suasana ponpes itu jadi lebih hidup dan segar. Keramah-tamahan Kyai Abbas membuat para santri nyaman hidup di sana. Bahkan santrinya berdatangan dari berbagai penjuru negeri.
Keramahan para santri yang ditularkan oleh beliau benar-benar membuatku takut sewaktu baru sehari-dua hari berada disini. Tak ada yang bisa aku lakukan selain pasrah walau pun hatiku merasa terancam akan aturan-aturan yang semakin lama semakin aku butuhkan.
Orang tuaku mengiringi setiap langkah, berjalan memasuki gerbang pesantren ini dengan perasaan kalap. Mereka langsung menuju keberadaan sang pemimpin ponpes untuk melaporkan penyerahan kuasa atas diriku. Aku sendiri menyusuri setiap lorong-lorong ruangan yang dipadati para santri berjilbab, sementara aku tidak. Hanya balutan sehelai kaos oblong longgar berlengan pendek dan jeans yang terlihat menyesak. Ratusan pasang mata bagaikan mengancam setiap keberadaanku.
“Assalaamu’alaikum,” sebuah suara menyapa. Aku terkaget mendengar merdunya suara itu. Aku hanya tersenyum tanpa sempat menjawab salam dari seorang muslimah anggun bagaikan jelmaan sang bidadari.
“Siapa nama ukhti?”
Keningku seketika menyerngit, mencoba mengerti apa yang ia katakan.
“Maksudnya?” tanyaku gugup. Wanita muda berumur sekitar dua puluhan itu tertawa, namun tak menyisakan suara.
“Nama adik siapa?”
“Oh! Aku Maesya.”
Wanita itu menyebutkan namanya yang ternyata identik dengan namaku, Maesyaroh. Aku terkesima, namun tak dapat kupungkiri sebuah rasa tentram seketika mulai menyapaku. Keramahan yang kudapatkan darinya merubah rasa takutku akan dunia yang kurasa asing ini. Dengannyalah aku memulai detik-detik awal kehidupan sebagai seorang santri.
Malam itu aku mulai dengan acara majelis. Kyai Abbas bertindak langsung dalam memberi kami siraman rohani. Sejujurnya hatiku dongkol tanpa ada rasa takut sedikit pun. Aku menganggap majelis sebagai sebuah hal yang sia-sia belaka, membuang waktu terbaikku untuk beristirahat dengan cepat.
“Ayat lain yang menyinggung tentang pensyariatan hijab adalah ayat ke-59 surah Ahzab. Allah swt dalam ayat tersebut berfirman, ‘Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan kepada wanita-wanita mukmin agar mereka mendekatkan diri kepada mereka dengan jilbab mereka supaya mereka mudah dikenal dan supaya mereka tidak diganggu maka sesungguhnya Allah Maha mengampuni dan Maha Penyayang.’
Imam Shadiq a.s. bersabda, ‘Cukuplah sebagai tolok ukur kehinaan seseorang ketika dia memakai baju yang menyebabkan kemasyhurannya.’
Rasulullah saw pun bersabda, ‘Wanita yang di neraka menggantungkan dirinya dengan rambutnya adalah wanita yang tidak menutup rambutnya di hadapan selain muhrim,” ucap Kyai Abbas dalam pidatonya. Saat itulah tubuhku terasa menggigil dirayapi rasa takut.
Suatu waktu aku menyambut subuh pertama dengan tangisan. Aku menangis karena sebuah ketidaksiapan, sementara aku telah resmi menjadi bagian dari mereka. Aku juga menangis menahan rasa takut, ucapan Kyai Abbas malam itu masih terngiang-ngiang di otakku. Mbak Maesyaroh menghampiriku dan bertanya. Aku semakin tersedu.
“Bagaimana aku bisa menjadi bagian dari kalian sementara nafsuku memaksa untuk mengingkarinya. Bagaimana aku mampu melunakkan hati yang sekeras batu ini untuk kembali menjemput kesejukan,” isakku.
“Adik, kemarilah!” pintanya, lalu merogoh selembar kain dari dalam lemari kayu miliknya. Sehelai kerudung ada di tangan Mbak Maesyaroh. Ia lalu menaruhnya dengan lemah lembut di atas kepalaku, menutupi segalanya dan hanya menyisakan wajahku, lalu menuntunku menghadap ke cermin.
“Lihatlah wajahmu. Rasakan ketentraman yang akan membelai segenap kehidupanmu. Hijab tidaklah membuatmu berubah secepat tiupan angin, namun hijab akan menuntunmu secara perlahan. Percayalah, hijab akan menjemput kesejukan untuk hati mu.”
Aku tersenyum. Benar saja, ketentraman menerpa sekujur tubuhku bagaikan suatu mukjizat. Semakin lama aku bersama kerudung itu, maka kesejukan batin semakin kurasakan hingga hadirnya rasa butuh yang amat sangat. Tak mampu kepalaku terlepas dari balutan lembutnya yang melindungi.
Hari itu, Mbak Maesyaroh menunjukkan kepadaku sebuah foto. Aku memekik melihatnya. Seorang gadis tanpa kerudung berpakaian tak ubahnya seperti tanpa pakaian tengah berpose layaknya selebritis.
“Ini fotoku sewaktu masih berumur 20 tahun, tepatnya potretanku lima tahun yang lalu.” Aku mengamati foto itu lekat-lekat dengan bertanya-tanya.
“Hijablah yang mengubahku,” celetuknya sambil tersenyum penuh haru. Hari itu pun menjadi hari pertamaku menjadi seorang perempuan muslimah yang ikhlas menggunakan hijab ku.
Hari-hari berlalu. Aku menemukan rasa ketentraman menjadi bagian dari pesantren ini. Ketika kali pertama orangtuku datang mengunjungiku, tanpa terasa dari jauh aku melihat raut wajah bahagia namun dihiasi air mata. Mungkin inilah yang namanya air mata bahagia. Aku begitu haru melihat ayah dan ibuku tersenyum melihat hijab yang menutupi rambutku dan juga gamis yang menutupi tubuhku.
Dalam pelukan Ayah Ibu aku titipkan kata, “ Maafkan aku selama ini membuatmu di rundung dosa. Aku mohon izinkan dan ridhoi langkahku dalam menjadi anak yang salehah untukmu.”