CERPEN : JUARA 3 LOMBA MENULIS CERPEN GURU DAN PEGAWAI THAWALIB PARABEK

“TAULA DAN AKU”
Oleh : Wike Astria, S.Pd.I

Seratus pena pun tak cukup untuk menuliskan kisah persahabatan kami yang penuh cerita. Cerita persahabatan yang berbeda dari sekian banyak kisah persahabatan biasa. Persahabatan kerap dikenal dengan kebersamaan, kekompakan, keceriaan. Ini berbeda. Inilah sepenggal kisah persahabatan Taula dan Aku.

Taula namanya. Ia adalah salah seorang kolegaku di sebuah lembaga pendidikan ternama di kota tempat tinggalku. Ia adalah seorang guru yang sangat sederhana. Ia cenderung pendiam dan tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Tatapan di balik kacamata tebal itu tak begitu mau beralih barang sebentar kepadaku. Dingin, tak begitu banyak bicara. Tak hanya padaku, semua orang berkata begitu. Guru Ilmu Sosial yang seharusnya selalu bersosialisasi namun begitu dingin seperti tak peduli dengan sekitarnya.

Setiap harinya aku duduk berseberangan dengan Taula di kantor majelis guru. Tak sabar hati ini ingin mengajak Taula berbicara banyak. Maklumlah guru bahasa memang suka berbicara. Tanpa bicara terasa ada yang kurang. Semua ingin dijadikan teman untuk sekedar mengasah kemampuan verbal yang dimiliki. Taula tak bergeming, satu kata dibalas satu kata. Ah, sungguh tak mengasyikkan. ‘Perbincangan macam apa ini…!’ batinku menjerit, sakit hati.

Berbulan-bulan menghadapi kolega dingin seperti ini, serasa hidup di tengah hutan belantara. Seperti kesunyian malam yang hanya dipenuhi oleh nyanyian jangkrik. Hening dan sangat membosankan. Begitu banyak kalimat yang ditabung. Ingin segera dikeluarkan seperti letusan gunung berapi yang memendam lava.

“Taula, boleh duduk di sini?” kataku ragu.

“Iya boleh, Mbak,” ujarnya sedikit menoleh kepadaku.

Satu, dua, tiga menit berlalu tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Seolah-olah ia menyimpan permata yang sangat berharga di dalam mulutnya itu. Hingga rasa penasaranku memuncak sampai ke ubun-ubun.

“Taula, boleh sedikit minta waktunya?” kataku dengan emosi mulai meluap.

“Boleh, Mbak,” ujarnya dingin.

“Hmmm, Taula jurusannya Sosiologi, kenapa tidak banyak bicara? Kita sebagai guru harus memiliki kompetensi yang 4 itu. Salah satunya adalah kompetensi sosial. Kita harus membangun komunikasi dengan kolega kita.” Aku mulai menceracau tak terkendali.

“Taula, saya takut kamu dibenci semua orang. Saya lihat kamu tidak memiliki satu orang teman pun di sini. Taula, please change it! Be friendly!” ujarku langsung ke intinya.

“Tidak ada yang harus saya ucapkan Mbak.” Jawaban dari sekian banyak kata yang kuucapkan dan bahkan sekaligus penutup pembicaraannya.

Aku langsung berdiri dan pergi meninggalkannya. Dengan derita rasa penasaran, aku melangkah keluar. Sedangkan ia lanjut membaca bukunya. Sekilas aku melihat judul buku yang ia baca Karakter dan Kepribadian Seorang Muslim. Pikiranku langsung teringat dengan berbagai kepribadian manusia, ada yang extrovert dan introvert. Extrovert adalah kepribadian manusia yang cenderung terbuka sedangkan introvert adalah kepribadian manusia yang cenderung tertutup.

Aku sangatlah extrovert, kepribadian ini sama sekali tidak bisa diubah dariku. Terkadang kepiawaianku dalam berbicara membuat orang senang namun tak jarang menyebalkan bagi beberapa orang. Biasalah memang, dalam sebuah perkumpulan pasti ada sekumpulan pro dan kontra, iri, saling sikut, gosip pun pasti ada. Namun aku sama sekali tidak memikirkan itu.

Aku memanggap semua orang postif. Dengan mudahnya aku bercerita apa saja tanpa memikirkan seperti apa orang itu. Hingga suatu masa, aku harus menerima akibat yang sangat di luar dugaan gara-gara lisanku. Aku salah ucap kepada salah seorang kolega lain yang membuatku gelap mata karena merasa paling benar. Aku tidak siap menerima kritikan yang menurutku itu salah. Aku akhirnya menyadari bahwa tak sepantasnya aku berucap kasar kepadanya. Masalah itu pun sampai ke atasanku. Aku merasa bahwa ini sudah berakhir. Aku merasa harapanku akan sia-sia. Aku merasa satu-satunya tempatku bekerja dan bergantung tak menaruh percaya lagi padaku. Semua kolega tau permasalahan itu. Aku kehilangan kepercayaan diri. Aku sangat menyesal dan beharap semuanya segera berakhir dan kembali seperti sediakala. Namun itu mustahil, semua sudah menjauh. Sahabat yang kudambakan menghilang. Aku menyesali lisanku yang asal bicara. Aku frustasi dan memilih berdiam diri di laboratorium IPA. Sambil berusaha menghibur diri kuraih ponselku lalu membaca kalam ilahi. Obat dari segala penyakit termasuk kesedihanku ini.

Aku menoleh ke sebuah pintu yang tiba-tiba terbuka. Sesosok wanita berdiri di depan pintu labor dan mengetuk pintu ruangan itu. Tampak tak jelas karena sinaran dari luar pintu yang menyilaukan mataku. Ia pun perlahan mendekatiku. Mulailah tampak jelas siapa pemilik wajah itu. Aku tak yakin dengan apa yang aku lihat. Wanita yang menghampiriku ini adalah Taula.

“Mbak, boleh duduk disini, Mbak?” tanyanya tenang.

“Iya, boleh Taula. Silahkan,” ucapku masih tak percaya akan kehadirannya di dekatku.

“Mbak, boleh curhat nggak, Mbak?” ujar Taula dengan wajah sedih.

Aku terkesima mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Taula. Kenapa tiba-tiba Taula ingin curhat padahal biasanya ia tak pernah bercerita denganku. Sejenak aku lupa dengan kesedihanku dan memilih untuk mendengarkan curhatan dari ‘Manusia Langka’ yang ada di hadapanku.

“Mbak sekarang saya lagi kacau sekali, Mbak,” ujarnya tenang sekali.

“Kacau kenapa Taula?” tanyaku berusaha menjadi pendengar baik.

“Mbak sebenarnya saya udah capek. Saya patah semangat Mbak. Banyak masalah yang bercokol di kepala ini. Saya mau resign saja mbak,” ujar Taula dengan nada sedih.

“Eh? Kenapa seperti itu? Ingat Dek perjuangan kita masuk ke sini dan kepercayaan yang diberikan sekolah ini untuk kita. Segala masalah hanyalah kerikil-kerikil saja. Kita harus tetap tegak dan berjuang,” ujarku penuh semangat

“Saya merasa semua orang harus dimengerti tapi saya sendiri tidak dimengerti. Saya sudah berusaha sekuat tenaga memberikan yang terbaik untuk institusi ini. Baik itu pemikiran ataupun solusi yang terbaik terkait permasalahan yang ada. Namun, mereka tak menyadarinya.” Taula bercerita, mulai berlinangan air mata.

“Taula, itulah kehidupan kerja Dek. Semua jenis manusia ada disini. Ada yang baik dan ada yang merasa baik.”

“Mbak mereka tidak mengerti maksud saya berkata demikian Mbak. Saya berniat baik untuk mengatakan yang sebenarnya. Batin ini menjerit tak terima. Saya lakukan ini salah, itu salah. Saya merasa seperti orang yang kehilangan kepercayaan publik.”

“Taula, biarlah kita kehilangan kepercayaan publik dibandingkan kita kehilangan kepercayaan Allah untuk berbuat baik,” ujarku teringat dengan perkataan orang tuaku.

“Mbak, saya berusaha jadi orang yang terbuka tapi sepertinya saya pengen jadi orang yang tertutup lagi,” ucap Taula sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Jangan Taula! Terlalu tertutup juga tidak bagus.”

“Tapi lisan saya berbahaya Mbak. Saya takut akan menyakiti hati orang lain baik sengaja maupun tidak disengaja. Saya teringat dengan perkataan Rasulullah ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.’ Saya ingat tentang hadis ini Mbak sehingga membuat saya susah untuk berbicara. Maaf ya Mbak selama ini saya tidak mau berbicara banyak.” ujar Taula sangat lembut dan penuh kehati-hatian.

Sejenak aku berfikir. Apa maksud Taula si Manusia Langka ini. Apakah ia berusaha mengguruiku? Aku berusaha menepis fikiran buruk itu. Apakah ia sudah tau dengan masalah yang sedang ku alami sehingga ia berusaha untuk menasihatiku?

Akhirnya aku tersadar, ternyata ia sedang berusaha menasihatiku dengan caranya yang unik. Ia berusaha mendorongku untuk menemukan penyelesaian masalah diri dengan memancingku untuk mengungkapkan pengetahuanku tentang penyelesaian masalah yang ada. Aku tersadar bahwa seharusnya aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Buktinya, aku bisa menasehati Taula yang seharusnya nasehat itu tertuju padaku.

“Taula, Mbakmu ini sedikit introvert tapi lebih banyak ekstrovert-nya. Hahaha,” aku mulai menyadari kesalahanku dengan candaan yang menyesali diri.

Nampaklah di wajah Taula sebuah senyuman yang begitu tulus dan ikhlas. Ukhuwah pun terjalin dari rasa simpati yang terpancar dari hatinya yang ikhlas. Tak perlu banyak bicara, namun sekali bertindak begitu bermakna. Ibarat tanah kering kerontang yang disirami air hujan, begitu menyejukkan hati. Langkah demi langkah cerita dirinya yang ia ujarkan adalah sebuah gambaran tentang diriku, namun ia kemas dengan cara yang apik agar tidak menyinggung perasaanku. Wah memang seorang sosialis ulung. Ia tak melupakan rasa dan karsa bahkan ia tau kondisi psikologiku yang cendrung tak bisa disanggah.

Sekarang aku mulai memperbaiki diri untuk selalu menjaga lisanku ini. Setiap ada keramaian santai yang menuntutku untuk berbicara, kutepis dengan ingatanku kepada sosok Taula yang tidak banyak bicara namun banyak bertindak dengan ilmunya. Patutlah para filsuf mengatakan dalam kata-kata mutiaranya sedikit berbicara namun banyak bertindak ‘Talk less do more!’

Terimakasih Taula. Persahabatan tidak hanya sekedar kebersamaan. Saling menasihati di kala kita salah adalah suatu persahabatan yang hakiki. Memahami kekurangan saudara adalah suatu hal yang patut ditanamkan di hati. Itulah dirimu, Taula, manusia unik yang tercipta. Hingga kini, Taula, sahabatku yang langka, selalu kukenang sebagai Tauladanku.