Oleh: Khaira Anisa, S.Pd
Anita, begitulah teman-teman dan keluarga biasa memanggil namanya. Ia memiliki wajah yang imut dan cantik. Di lingkungannya, Anita dikenal sebagai gadis yang ramah dan kuat. Tak ada seorang pun yang pernah melihatnya bersedih ataupun menangis. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan keceriaan.
Anita berasal dari keluarga yang sederhana. Ibunya bekerja sebagai penjual sayur keliling. Saat ia berumur 3 tahun, ayahnya mengalami kecelakaan ketika pulang dari berjualan, sehingga nyawanya tidak bisa diselamatkan. Semenjak itu, ibu Anitalah yang mengambil alih pekerjaan ayahnya untuk menyambung hidup mereka berdua . Kemanapun pergi, mereka selalu bersama.
Saat ini Anita sudah tumbuh menjadi gadis yang dewasa. Ia mendapat beasiswa untuk kuliah di salah satu universitas negeri di kota Padang. Ketika liburan kuliah, ia masih sama seperti dulu, selalu menemani ibu pergi berjualan. Ia tak pernah gengsi untuk menemani ibunya. Banyak pemuda yang kagum kepadanya. Pernah sekali, datang pinangan dari seniornya di kampus, untuk dijadikan isteri. Tetapi Anita menolaknya.
Pagi ini Anita serasa di sambar petir. tak pernah ia membayangkan hal ini akan terjadi kepadanya. Virus yang sedang marak di negaranya, ternyata sampai di badannya. Ia terpaksa dijauhkan dari ibunya. Hanya ada tangisan saat peepisahan terjadi. “Mana mungkin aku bisa hidup tanpa ibu?” begitulah yang dipikirkan Anita saat memasuki mobil ambulan. Saat itu, ia merasa tak lagi berguna. Kehidupan yang selama ini ia jalani, berjalan sia-sia. “Kenapa harus Aku?” gumam Anita sambil menitikkan air mata.
Siang itu matahari pun tak menampakkan diri. Tetasan air dari langit terdengar kejam ditelinga Anita. Lagi-lagi ia meneteskan air mata. “Kenapa Allah tega sekali memberiku cobaan seperti ini. Kenapa harus aku? Aku tak bisa sendiri, aku tak biasa jauh dari ibu.” Air matanya terus saja mengalir di wajah yang mungil itu.
“Anita, ini kamar untukmu. Jangan terus-terusan menangis. Nanti kami bisa sakit. Tetap lah semangat. Jangan hiraukan ibu, nanti biar kakak yang menjaga ibu.” Ucap petugas yang sekaligus merupakan seniornya saat di kampus.
Anita tak menjawab perkataan seniornya itu. Ia hanya bisa menangis dan menangis saja. Ia berpikir bagaimana nasib ibunya saat ini. Seniornya yang bernama Andika itu pun dengan terpaksa meninggalkan Anita di ruangan itu sendirian.
Setelah puas menangis, akhirmya Anita tertidur pulas. Entah berapa lama ia tertidur. Ia tak menyadari petugas dengan pakaian APD lengkap masuk ke ruangannya. Saat akan diperiksa, Anita terbangun.
“Sudah bangun Anita?” sapa petugas dengan ramah.
“Maaf Kak, saya ketiduran,” jawab Anita lesu.
“Kalau kamu masih lelah, tidurlah, waktu sholat masih lama,” balas Petugas. Setelah melakukan pemeriksaan, Andika pun keluar dari ruangan itu.
Hari-hari Anita di ruangan itu hanya diisinya dengan tangisan. Ia hanya teringat dengan Ibu. Untung saja petugas-petugas yang bergantian piket menjaga pasien selalu menyemangati Anita. Tapi tetap saja Anita merasa dirinya telah tidak berguna lagi. Rasanya kematian sangat dekat dengannya. Ia terus saja menangis. Saat itu, salah satu dari petugas yang memakai APD lengkap memeluk erat tubuh mungil Anita. “Kamu yang sabar ya dek, pasti ada hikmah dibalik musibah ini,” ucap petugas tersebut.
Pagi ini matahari terlihat lebih semangat memancarkan cahayanya. Semua pasien dikumpulkan di lapangan untuk ikut senam sehat. Sesama pasien covid saling menyemangati sehingga mereka sudah seperti saudara. Tanpa disadari Anita sudah mulai sedikit tenang.
Semenjak Anita dibawa ke ruangan ini, ia belum pernah menghubungi ibunya. Entah bagaimana keadaan ibunya sekarang. Ketika penjemputan kemarin, ibunya hanya bisa melihat dari kejauhan dengan pasrah dan berlinang air mata. Saat putri semata wayangnya dibawa oleh petugas berpakaian APD lengkap menuju mobil ambulan. Tinggallah wanita tua itu seorang diri untuk waktu yang tak pasti.
Remuk juga hati ibunya memikirkan putrinya. Untung saja para tetangga silih berganti menemani wanita tua itu di rumah. Sempat ibu mengalami demam tinggi, dan harus dibawa ke puskesmas terdekat. Tapi syukurlah, ini hanya demam, bukan dampak dari paparan Covid-19 .
Sudah hampir seminggu Anita diisolasi, saatnya sekarang ia menjalani Tes SWAB untuk kedua kalinya. Ntah dimana ia terpapar virus ini. Mungkin ketika menemani ibunya berjualan keliling. Saat itu ia belum paham betul kenapa pemerintah mewajibkan masyarakat untuk selalu menggunakan masker. Pernah saat pergi berjualan, Anita lupa memakainya, mau dijemput, jalan sudah agak jauh. Jadi, Anita mengabaikan himbauan pemerintah sekali itu. Sedangkan ibu selalu diingatkannya. Mungkin saat itu, virus ikut dengannya.
Malam sebelum melakukan Tes SWAB, Anita tak henti-hentinya menangis, karena tak bisa lagi menahan rindu kepada ibunya. Kemana ia akan menghubungi, ibu tak mau menggunakan handphone. Selama diisolasi, ia hanya bisa berdoa dan berharap agar Allah selalu melindungi wanita yang sangat dicintainya itu. Ternyata diam-diam Andika selalu datang ke rumah ibu Anita untuk memastikan ibu Anita baik-baik saja.
Malam itu, suara jangkrik menambah kesunyiannya. Sambil menangis, ia pegang juga tasbih. Tak henti-hentinya ia ucapkan kalimat-kalimat Allah. Tapi hatinya masih saja dirundung kesedihan. Tak berapa lama, Andika masuk ke ruangan Anita.
“Belum tidur Dek?” tanya Andika.
“Belum Kak,” balas Anita.
Andika memberitahukan kepada Anita, bahwa besok pagi akan ada pengambilan tes swab yang kedua. Sambil memeriksa Anita, Andika selalu memberikan semangat kepadanya. Dengan mata yang berkaca-kaca Anita mendengarkan kata-kata dari Andika.
“Tak mungkin Allah akan memberi kita cobaan, jika kita tidak sanggup menerimanya. Kalau Anita sampai di tempat ini sekarang, tandanya Allah sayang kepada Anita. Allah ingin Anita lebih dekat denganNya,” ucap Andika.
Sebelum keluar ruangan, Andika menitipkan sepucuk surat untuk Anita. Setelah di buka, ternyata surat itu dari Ibunya. Dibacanya secara perlahan surat dari ibunya tersebut.
“Assalamu’alaikum, putriku tersayang…
Bagaimana kabarmu di sana, Nak? Ibu di sini sangat merindukanmu. Anakku sayang, tak ada yang perlu engkau khawatirkan. Ini hanyalah kerikil kecil yang terinjak olehmu. Allah tau, engkau adalah putri ibu yang sangat kuat. Makanya Allah berikan ini untukmu.
Putriku sayang, janganlah engkau bersedih dengan apa yang terjadi pada kita hari ini. Tak mengapa kita berjauhan sebentar, ibu akan selalu setia menunggumu di sini.
Surat ini ibu titipkan kepada teman kuliahmu yang bekerja di rumah sakit tempat kamu dirawat. Setiap hari, ia selalu mengunjungi ibu di rumah. ia selalu menceritakan tentang keadaanmu di sana. ibu berharap, semoga surat ini bisa menjadi obat rindu untukmu.
Ibu sangat menyayangimu. Percayalah Nak, ketika hujan turun, pasti akan reda jua dan kadang kala diganti dengan pelangi yang sangat indah. Tak ada yang sia-sia dalam setiap perjalanan hidup ini. Allah tahu yang terbaik buat kita. Jadi, janganlah engkau terlalu larut dalam kesedihan, semangatlah sayang. Ibu mencintaimu.
Ibu dengar besok kamu akan menjalani tes swab untuk kedua kalimya, ibu berharap kamu tidak terlalu memikirkannya. Ikhlaskanlah apa yang telah menimpa kita, semoga setelah ini, Allah berikan keindahan untuk hidupmu. Amiin.
Sakali lagi, ibu sangat menyayangi dan merindukanmu. Tetap kuat putriku tersayang.
Wassalam,
Dari ibumu tersayang
Anita mendekap surat itu erat-erat. Tak henti-hentinya ia menangis. Ia sangat merindukan ibunya saat itu. Namun, Ia coba untuk bangkit dari kesedihan, ia hentikan tangisannya dan bergerak menuju tempat wudhu. Ia laksanakan sholat dua raka’at. Ia lantunkan ayat-ayat suci Alquran. Tak bosan-bosannya ia berharap kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang agar ia segera dipertemukan kembali dengan ibunya.
Keesokan harinya, Anita telah bersiap-siap untuk pelaksanaan tes swab yang kedua. Kali ini ia sangat percaya bahwa Allah akan mengambulkan doanya. Kebetulan Andika lah yang bertanggung jawab langsung menjaga Anita. Saat itu, Andika sudah membawa peralatan untuk pelaksanaan tes tersebut. Tampak Anita sedikit kesakitan menahan alat yang dimasukkan ke hidungnya. Tapi tak mengapa, semoga rasa sakit ini akan berganti dengan kebahagiaan. Gumamnya di dalam hati.
“Oke Anita, udah selesai,” kata Andika.
“Oh, terima kasih Kak,” balasnya.
Sebelum Andika keluar ruangan, Anita mengucapkan terima kasih kepadanya karena telah memperhatikan ibu dan menjaga ibunya. Ia tak tau harus bagaimana mengucapkan terima kasih kepada Andika. Andika hanya tersenyum mendengar ucapan Anita. Ia hanya membalas perkataan Anita dengan mengatakan bahwa hasil tes ini akan keluar paling lama seminggu lagi.
“Jadi, kamu harus tetap bersemangat.”
Menjelang hasil tes swab keluar, ibunya hampir setiap hari mengirimkan surat untuk Anita. Sehingga, tak ada lagi kesedihan di wajahnya. Kadang kala di saat ia merindukan ibunya, ia langsung mengambil wudhu dan melaksanakan sholat dua rakaat. Begitulah hari-harinya sampai menunggu hasil tes tersebut keluar. Tak terasa sudah hampir 14 hari Anita berada di ruangan isolasi ini.
Malam itu, hujan turun sangat derasnya. Tak ada nyanyian jangkrik, dan rembulanpun enggan untuk keluar. Di luar ruangan terus saja terdengar raungan mobil ambulan yang silih berganti membawa pasien baru. Hati Anita sedikit terguncang, karena hasil yang ditunggu-tunggunya seminggu ini belum juga ada kepastian.
Tak berapa lama, terdengar Andika membuka pintu ruangannya. “Anita, selamat ya. Besok pagi kamu sudah bisa pulang. Hasil tes yang kedua kemarin sudah dinyatakan negatif,” ucap Andika.
Mendengar ucapan itu, Anita tak dapat membendung air mata bahagia. Ia langsung bersujud syukur. Ternyata Allah telah mendengarkan doa-doanya selama di sini. Tak terbendung rasa bahagia Anita malam itu. Ia tak sabar lagi menunggu pagi datang. Ia rindu sekali ingin memeluk tubuh tua yang selama ini telah memberikan cinta untuknya. Sebelum tidur, ia sempatkan untuk sholat dua rakaat sebagai tanda syukurnya kepada Sang Pencipta.
Semburat matahari pagi, membias menerangi kaca kamar isolasi Anita. Pagi ini ia telah bersiap untuk kembali kepelukan sang ibu tercinta.
“Anita, mobil dinas kesehatan kampungmu sudah datang menjemput. Semoga kamu selalu diberi kesehatan oleh Allah. Titip salam Kakak untuk ibu di rumah,” ucap Andika.
Sebelum naik ke mobil, Anita berpamitan kepada pasien yang lain. Ia juga menyemangati pasien-pasien yang belum dapat kesempatan baik seperti dirinya. Bagaimana pun juga, mereka sudah seperti saudara di sana. Mereka sama-sama berjuang. Terlihat keharuan saat Anita harus meninggalkan rumah sakit.
Tak lupa juga ia mengucapkan terima kasih kepada petugas-petugas yang lainnya, yang sudah senantiasa menemani dan merawatnya selama di sana.
“Terima kasih banyak semuanya, semoga ukhuwah kita tetap terjalin,” ucap Anita sambil melambaikan tangannya.
Di gubuk tua, di persimpangan jalan, sudah menunggu wanita tua yang berhati mulia. Matanya tampak berkaca-kaca. Tubuhnya sedikit gemetaran. Ia tahu, bahwa hari ini anak semata wayangnya akan kembali kepelukannya. Sirene ambulan sengaja dibunyikan petugas, untuk memberitahu masyarakat, bahwa warganya sudah kembali.
Jantung Anita berdetak kencang ketika petugas mengatakan bahwa mereka sudah sampai. Anita tak kuasa menahan tangis. Ia langsung turun dari mobil dan memeluk ibu sekuat tenaganya. Kali ini ia tak mau lagi dipisahkan dengan ibunya. Semua yang melihat kemesraan mereka berdua, tak sanggup menahan air mata.
Selang beberapa hari Anita di rumah, Andika datang menghampirinya. Kali ini ia datang bukan untuk bertemu dengan ibu. melainkan dengan Anita sendiri.
“Saya ikut senang, melihat kamu bisa berkumpul lagi bersama ibu,” ucap Andika.
“Terima kasih banyak Kak, karena selama saya di rumah sakit, Kakak sudah memperhatikan ibu saya di rumah,” balas Anita.
Setelah lama bercerita, Andika pun mengemukakan keinginannya kepada Anita. Ia berniat untuk menjadikan Anita teman halalnya. Siapa sangka, Anita menerima lamaran Andika yang dulu pernah ia tolak. Beberapa bulan kemudian akhirnya mereka menikah.
-Selesai-