CERPEN “KEMBALINYA DIRIMU”

Oleh Surya Dwi Zahara
Kelas 4 IPS 2

Langit mulai menumpahkan kesedihannya sore itu. Satu dua rintik hujan mulai mengenai badan. Kala itu, tampak di sebuah gang kecil dekat mushalla seorang nenek tua berjalan terseot ke arah pohon rindang di dekat mushalla. Ia berusaha melindunggi nasi uduk yang dijualnya dari tetesan hujan yang mulai menderas. Saat berteduh, samar-samar dia mendengar suara tangisan bayi yang entah berasal dari mana. Nenek tersebut mencari-cari dari mana asal suara tangisan itu dan langsung menuju ke asal suara. Mata sang nenek langsung tertuju ke sebuah kardus lusuh di belakang pohon rindang. Ternyata di dalam kardus itu terdapat seorang bayi mungil. Dengan cepat sang nenek menggendong si bayi dan lari ke mushalla. Nenek pun memberi tahu kepada pengusus mushalla. Pengurus mushalla pun memberi tahu kepada masyarakat setempat siapa yang kehilangan bayi. Tak ada yang mengaku pemilik bayi tersebut.

Dengan penuh percaya diri sang nenek berkata, “Biar aku saja yang merawat dan menjaga hingga dia sampai lekas dewasa.” Pengurus masjid pun dengan senang hati memberikan bayi kepada sang nenek .

Nenek memberikan nama bayi tersebut yang bernama Viona Klaudia, biasa dipanggil Viona. Sang nenek memberikan bayi tersebut air tajin pengganti air susu ibunya. Anak itu tumbuh dewasa. Di saat umur 10 tahun, sang nenek menceritakan kisah hidupnya saat menemukan Viona. Viona pun meneteskan air matanya saat sang nenek menceritakan kisah itu.

“Dimana orang tua kandungku, Nek?” lirih Viona sambil terisak.

”Nenek tidak tahu Viona. Nenek tidak tau dimana orang tua kandung mu,” ucap sang nenek sembari mengusap kepala Viona dengan penuh cinta dan sayang. ”Suatu saat nanti kamu pasti menemukan orang tua kandung mu,” lanjut Nenek.

”Aku pasti menemukan siapa orang kandungku Nek, pasti” ucap Viona penuh keyakinan.

Tahun berganti tahun, bulan berganti bulan hari berganti hari. Memasuki jenjang kuliah, aku tak tahu di mana akan berkuliah. Beberapa hari lagi aku akan mengikuti ujian nasional. Saat di sekolah, semua teman-teman ku berbincang-bincang di mana mereka kuliah. Temanku yang bernama Surya Dwi Zahara bertanya, “Kamu kuliah di mana Viona?” tanyanya dengan tatapan penuh rasa penasaran.

“Ntah lah, aku belum tahu” jawabku.

”Kok gak tau sih, Viona. Pikirkan dari sekarang. Sebentar lagi kita Ujian Nasional loh. Kamu tertarik gak kuliah di Mesir? Ada peluang tu untuk mu. Kamu cepat daftarkan diri sebelum pendaftarannya tutup. Beasiswa loh,” tawar Zahra penuh semangat .

“Ba…baiklah, nanti aku bilang dulu kepada Nenekku” jawabku ragu.

Sepulang sekolah aku memberitahukan kepada nenek apa yang di bilang Zahra kepadaku tadi saat di sekolah .

”Kamu mau kan sekolah di mesir itu?” tanya nenek.

“Gak lah, Nek. Kalau aku ke Mesir, siapa yang jaga nenek di sini,” jawab ku.

”Nenek baik-baik saja kok. Jangan khawatirkan Nenek di sini. Nenek bahkan berharap kamu sekolah disana,” ucap nenek penuh harapan.

Aku hanya mengangguk, ucapan nenek tadi menghapus semua keraguan dihatiku. Dengan percaya diri aku mendaftarkan diri.

***

Ujian seleksi telah berlalu sebulan. Aku berjalan kearah sekolah. Sesampainya di sekolah, semua siswa-siswi berkerumunan di mading. ‘Ada apa itu?’ gumamku di dalam hati. Aku pun mendekati mading. Belum ku sampai di mading, tiba-tiba Zahra memelukku.

“Kamu lulus kuliah di Mesir loh Viona. Selamat ya!” ucap Zahra sambil melepaskan pelukan nya .

Semua siswa-siswi mengucapkan selamat kepadaku, termasuk guru. Aku tak percaya, apakah ini mimpi atau bukan.

Sepulang sekolah aku langsung memeluk nenekku. “Nek, aku lulus!” seruku sambil meneteskan air mata. ”Benarkah Viona?” Nenek tak percaya.

”Iya, Nek. Aku lulus. Ini bukan mimpi,” kata Viona meyakinkan.

Nenek pun terharu sambil meneteskan air mata. “Alhamdulillah, kamu lulus, Viona. Kapan kamu berangkat ke Mesir?” tanya Nenek sambil berkaca-kaca.

“Belum tahu, Nek. Kemungkinan besar setelah Ujian Nasional” jawabku sambil tersenyum.

Hari pun berganti dan Ujian Nasional pun berakhir. Saatnya melanjutkan kuliah. Tinggal beberapa hari lagi aku akan kuliah. Aku takut. Tak rela hati ini meninggalkan nenek tersayang. Sekaranglah waktunya berpisah untuk menggapai cita-cita. Mungkin, di sana aku akan menemukan siapa orang tua kandungku .

“Nek, jangan lupa do’akan Viona ya, Nek” pintaku sembari menyalami tangan nenek.

“Doa nenek akan selalu ada untukmu Viona. Jaga dirimu baik-baik disana ya! Jangan lupa shalat dan minta perlindungan kepada Allah” nasihat nenek.

***

Cahaya matahari memancarkan sinarnya. Aku yang duduk terpaku melihat keindahan ciptaan sang Ilahi, seolah tak menyangka. Aku berada di sini, duduk di atas pesawat megah ini. Langkahku sekarang menuju cita-cita yang tinggi. Aku bertekad di dalam hati untuk membahagiakan nenekku. Inilah saatnya. Bismillah, gumamku dalam hati.

Pesawat mendarat pada pukul 21.00 waktu Kairo. Udara malam yang dingin menerpa wajahku Ketika melangkah keluar pesawat, seseorang berbusana muslimah menyambut hangat kedatanganku. Ia menggunakan bahasa indonesia. Dia mengantarkanku kesalah satu apertemen di ibu kota Mesir. Saat di perjalanan, kami saling memperkenankan diri. Rupanya dia orang indonesia. Namanya Delisa Atiqa Putri, dia berasal dari Nangro Aceh Darussalam. Dia adalah seniorku di Universitas Al-Azhar. Tak terasa kami sudah tiba di apartemen. Delisa membantu membereskan barang bawaanku. Perutku terasa lapar.

“Delisa, kamu tahu gak makanan khas di sini?” tanyaku sambil memegangi perut.

“Tahu. Yuk kita kesana! Kebetulan aku juga lapar,” ajak Delisa sembari berjalan ke arah pintu. Aku mengangguk, kemudian mengikutinya yang sudah beranjak keluar.

Di perjalanan, Delisa bercerita tentang indahnya Mesir. Kami sampai di sebuah restauran yang sangat indah. Sebelum kami memasuki restauran tersebut, Delisa berkata ”Viona, kamu tahu gak, pemilik restauran ini orang Indonesia, loh!”ucap Delisa antusias. Aku tak menyangka, rupanya banyak orang Indonesia di sini.

Kami memasuki restauran dan disambut hangat oleh pelayan. Tiba-tiba orang yang melayani kami terkejut melihat tanda lahir di dekat wajahku. “Apakah kamu orang Indonesia nak?” tanya pelayan itu menggunakan bahasa Mesir. “Iya, kami orang Indonesia” jawab Delisa juga menggunakan bahasa mesir. Lalu aku ikut mengangguk, mulai mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

Pelayan itu terpaku diam, mulai meneteskan air mata dan berkata dalam bahasa Indonesia, ”Aku memiliki anak yang hilang 17 tahun lalu di Indonesia, dan memiliki tanda lahir yang persis sama dengan tanda lahirmu.”

Aku dan Delisa merasa prihatin. Kami meminta pelayan itu duduk semeja bersama. Kami memperkenalkan diri dan juga saling tukar cerita. Dari situlah aku tahu bahwa dia adalah pemilik restouran ini.

”Anakku hilang 17 tahun yang lalu. Dia di culik pada umur 1 tahun saat rumah kami masih di Jakarta. Jika dia ada bersama kita sekarang, mungkin dia seusiamu Viona,” lirih Bu Suci, si pemilik restauran, sedih.

Air mata Viona pun jatuh membasahi pipinya yang mulai memerah. ”Aku tidak punya orang tua, Bu. Mungkinkah aku anak ibu?” tanyaku.

”Mungkin saja, Nak. Soalnya kamu sangat mirip dengan suamiku. Kalau begitu, untuk memastikannya, kita tes DNA saja” kata Bu Suci menjelaskan. Aku mengangguk menyetujuinya.

Hari berganti hari, tes DNA pun keluar. Ternyata, memang benar Bu Suci adalah orang tua kandungku. Awalnya aku terkejut. Aku tak menyangka akan hal ini. Apakah ini mimpi atau tidak, fikirku yang masih tak percaya. Namun ini semua bukan mimpi. Ini nyata. Terimakasih Ya Allah kau telah mengembalikan orang tua kandungku.

Sekarang, tinggal bagaimana dengan Nenek di kampung. Aku menceritakan kepada Bu Suci yang kini telah ku panggil Mama bahwa aku dirawat dan dibesarkan oleh seorang nenek.

“Ya Allah, siapakah nenek yang baik hati itu? Mama ingin bicara dengannya,” ucap Mama terharu. Aku segera menekan beberapa nomor di handphoneku, kemudian menyambungkannya ke nomor Nenek.

Jauh di Indonesia, Nenek yang sedang minum teh mendengar suara panggilan itu. Ia segera meletakkan teh yang ada di tangannya ke atas meja, kemudian, segera meraih handphonenya yang berada tidak jauh dari tempat duduknya sekarang.

“Viona, apa kabarmu, Sayang? Apa kamu sudah makan?” tanya nenek beruntun.

“Alhamdulillah, kabar Viona baik, Nek. Viona juga sudah makan,” jawab Viona.

“Nek, Viona telah menemukan Mama Viona, Nek” ucapku kepada Nenek. Awalnya Nenek hanya terdiam, walau sesaat. Kemudian ia mulai angkat bicara, “Alhamdulillah, kamu sudah menemukan orang tuamu. Siapakah dia? Bolehkah nenek bicara dengan nya?”

Aku sungguh lalai tidak mengenali bahwa nada itu adalah nada sedih. Nenek dan Mama berbicara beberapa saat, sampai akhirnya Mama memutus pembicaraan itu dengan mengucapkan salam.

Jauh di Indonesia sana, Viona tidak tahu. Setelah memutus pembicaraan itu, air mata neneknya yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah. Di fikiran neneknya hanya ada satu kata.

“Selamat tinggal, Viona”.