Sikap Mental dan Budaya Kerja

syamOleh : Ust. Mukhlis Syam, S.Sos.I

Sering kali kita mendengar bahwa problem terbesar kita sebagai bangsa adalah rendahnya etos kerja sumber daya manusia (SDM) Indonesia dan dampaknya pada produktifitas.
Prof Kuntjaraningrat (alm), seorang antropolog dan pengamat sosial Indonesia, beranggapan bahwa ada sejumlah aspek budaya Indonesia yang dapat menghambat bila negeri ini ingin menjadi sebuah negara modern. Aspek-aspek penghambat tersebut antara lain :

1. Kurangnya orientasi terhadap pencapaian prestasi. Yang diberi nilai tinggi oleh bangsa Indonesia adalah “hubungan yang baik”. Sehingga semangat berkompetisi kita tergolong lemah.
2. Orientasi yang berlebihan kepada masa lalu. Hal ini tercermin dari banyaknya mitos, ornamen dan patung yang menagungkan sejarah sehingga melemahkan motivasi untuk mempunyai visi, merencanakan masa depan dan meningkatkan efesiensi. Kita selalu berdalih “sudah seperti itu dari dulu”. Akhirnya kita kurang berani berinovasi mencari hal-hal baru.
3. Lebih mengandalkan firasat dan keberuntungan. Mentalitas seperti ini terlihat dari sangat banyaknya orang yang lebih suka meminta petunjuk dari “orang pintar” dari pada mengandalkan pada kekuatan analisis dan perhitungan serta perencanaan yang matang.
4. Ketergantungan pada kelompok. Keinginan untuk mempertahankan keharmonisan kelompok masih sangat berlebihan sehingga keinginan berhasil secara perorangan harus ditekan.
5. Berorientasi vertical. Cirinya adalah terlalu banyak mengandalkan petunjuk dan pengarahan atasan dalam mengambil keputusan yang kecil sekalipun. Kebiasaan ini dapat melelahkan bagi para manajer modern yang menganut aliran “pelimpahan” wewenang sebesar-besarnya dan dapat menimbulkan konflik (lebih pas bagi penulis adalah gesekan) karena bawahan menganggap atasannya tidak kompeten.
6. Kurang peduli dengan mutu dan kepuasan pelanggan. Banyak bukti bagaimana pelanggan dan konsumen diperlakukan dengan tidak wajar dan cenderung ditipu. Hal ini disebabkan oleh kemiskinan yang telah menekan nilai integritas ke urutan bawah dan didukung oleh politik ekonomi nasional yang menyuburkan tumbuhnya monopoli pada berbagai sektor.
7. Sering mencari jalan pintas dan suka menerabas. Orang lebih suka mendapat hasil dengan secepat mungkin dan dengan cara apa saja termasuk yang dapat disebut “menyerempet koridor hukum”.
8. Kurang percaya pada kemampuan diri sendiri. Ini agaknya disebabkan oleh penjajahan selama 350 tahun. Banyak orang Indonesia lebih mendengar yang dikatakan oleh bangsa asing, terutama yang berkulit putih daripada yang dikatakan oleh pakar Indonesia. Sebaliknya banyak orang Indonesia yang menunjukkan rasa tidak suka yang berlebihan terhadap orang asing untuk mengkompensasikan rasa rendah dirinya.

Selanjutnya, Kuntjaraningrat juga menambahkan bahwa setelah revolusi kemerdekaan ada lagi karakter-karakter negatif baru orang Indonesia, yaitu :

1. Kurang peduli pada mutu. Agaknya hal ini disebabkan pada kemiskinan yang memaksa orang untuk memproduksi sebanyak mungkin tanpa memperdulikan mutu barang dan jasa yang mereka produksi atau konsumsi. Penyebabnya bisa jadi adalah kirangnya semangat kompetisi yang memang tidak dibiasakan karena dianggap membahayakan keharmonisan kelompok dan yang memang dipengaruhi oleh kebijakan nasional yang menyokong monopoli.
2. Senang mencari jalan pintas dan “suka menerabas”. Orang lebih suka mendapat hasil secepat mungkin tanpa peduli bagaimana jalan (proses dan prosedur) yang ditempuh untuk mendapatkan hasil tersebut. Semula ini disebabkan karena pada masa awal kemerdekaan banyak orang dibebankan terlalu banyak tanggung jawab yang melebihi kemampuannya.
3. Kurang percaya kemampuan diri sendiri. Ini kayaknya disebabkan oleh banyaknya proyek pembangunan yang gagal di tahun-tahun awal kemerdekaan, ditambah lagi sikap orientasi vertikal yang memang sudah mendarah daging. Sebagai akibatnya, seperti sudah disebutkan, banyak orang Indonesia yang lebih mendengar apa kata orang asing daripada apa kata orang sendiri. Atau justru menunjukkan rasa tidak suka yang berlebihan pada orang asing.
4. Kurang disiplin. Orang Indonesia hanya berdikap disiplin kalau dekat atasannya. Di lingkungan Pegawai negeri, biasanya hal ini disebabkan kurangnya sanksi dan hukuman bagi mereka yang melanggar aturan. Mungkin juga akibat pola pengasuhan yang mereka terima ketka kecil. Di desa dan kota kecil, anak-anak kecil banyak yang bebas berkeliaran tanpa pengawasan dan disiplin ketat dari orang tua.
5. Kurang rasa tanggung jawab. Orang kurang memiliki rasa tanggung jawab dan mau menanggung kesalahan sediri terutama menyangkut masalah ekonomi dan keuangan. Agaknya ini disebabkan oleh kemiskinan dan tekanan hidup yang memaksa orang untuk memiliki banyak pekerjaan sampingan. Nilai tradisional yang berorientasi kepada atasan juga memperburuk mentalitas ini.

Tiga belas butir pernyataan Profesor Kuntjaraningrat tersebut dapat dianggap persepsi yang bersifat stereotip walaupun dihasilkan lewat pengamatan dan pengalaman para manajer dari berbagai perusahaan dan organisasi.

Dengan hambatan persepsi stereotip pada manajer dan sistem nilai budaya yang tidak compatible dengan sistem nilai bisnis modern, pekerjaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah beban yang tidak dapat lagi diukur besarnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia menyangkut berbagai aspek dan melibatkan berbagai variabel mulai dari pendidikan di keluarga, sektor pendidikan formal, sektor pendidikan informal, pelatihan dalam organisasi/perusahaan dan lain sebagainya. Tetapi perubahan dalam sistem nilai, sikap mental dan budaya kerja hanya dapat berhasil jika dilakukan melalui contoh-contoh kongkret oleh mereka yang berperan sebagai role model. Dalam negara kita, mereka adalah para pemimpin masyarakat, tokoh politik, pejabat pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat lainnya.

Terakhir, bahwa masalah sumber daya manusia adalah tantangan bagi semua pimpinan organisasi, baik yang di sektor pemerintahan ataupun organisasi bisnis. Sehingga ungkapan “the man behind the gun” menjadi tepat karena betapun majunya teknologi yang dipakai dalam sebuah organisasi tapi tidak didukung kualitas para pengelola dalam memanfaatkan taknologi itu maka tidak akan mencapai hasil yang maksimal.
Semoga saduran ini bermanfaat buat kita para penggiat organisasi, sehingga roda organisasi kita dapat berputar sesuai visi, misi dan corevaluenya.
Disadur dari buku “SDM BERKUALITAS, MENGUBAH VISI MENJADI REALITASa�? Dr H Achmad S Ruky. Hal 63-66
(Tulisan ini diposting di website ini tahun 2012)

Comments are closed.