Oleh. Ikrimil Hidayah
Pesantren memang identik dengan lembaga pendidikan tradisional. Karena proses di dalamnya memang dilakukan secara sederhana, konservatif dan tidak mengikuti standar pendidikan modern. Dengan sarana dan prasarana yang sederhana pula, pesantren bertujuan melahirkan para santri yang berguna bagi agama dan masyarakat. Sebuah tujuan yang sangat sederhana.
Pendidikan pesantren juga tidak menerapkan sistem evaluasi sebagaimana pendidikan formal pada umumnya, baik dalam bentuk ujian tengah semester ataupun akhir semester, apalagi ujian nasional. Karena pijakan pencapaian kompetensi santri tidak dilihat dari berapa banyak isi kitab yang dikuasainya, tapi dilihat dari sudut pandang kitab yang dikhatamkan (tuntaskan). Di dalamnya juga tidak ada penjenjangan kecerdasan para santri, karena memang tidak ada pemberian ranking. Sebenarnya metode seperti ini tepat sekali di dalam dunia pendidikan. Sebab penjenjangan kemampuan ini akan memunculkan klasifikasi siswa; ada yang bodoh dan ada pintar. Padahal judgement bodoh (pada siswa) akan berdampak secara psikologis, yang kemudian melahirkan keminderan (rendah diri). Dan keminderan akan menghambat kemampuan para pembelajar dalam menyerap ilmu yang dipelajarinya. Di dalam pesantren juga tidak ada penjenjangan kelas seperti pada lembaga pendidikan formal, kecuali yang di dalamnya sudah memakai pola diniyah. Namun demikian, keluaran pesantren bisa senada dengan cita-cita umum pesantren, yakni; berwawasan dan berakhlak berlandaskan agama (tafaqquh fi al-din).
Memang, ada beberapa proses yang mendasar yang selanjutnya membedakan produk pendidikan pesantren dengan pendidikan formal. Bahkan pada akhirnya pendidikan formal banyak yang meniru pola pesantren mengingat hasilnya yang lebih optimal, meskipun diselenggarakan dengan penuh kesederhanaan.
Keberhasilan pola pendidikan ala pesantren menjadikan para pengelola pendidikan tertarik untuk mengenal lebih dalam tentang pesantren terlepas dari kekurangannya di berbagai sisi. Setidaknya ada dua hal yang menjadi ciri khusus pesantren yakni sebagai berikut:
Pertama, Pendidikan Model “Boarding School”
Model peng-asrama-an bagi para santri merupakan salah satu ciri menonjol pendidikan pesantren. Pengertian pesantren sendiri identik dengan tempat a��penampungana�� bagi para santri yang mau belajar ngaji. Para santri dibina dalam sebuah lokasi tertentu dengan seorang kiai sebagai panutannya. Untuk itu pesantren sering disebut juga sebagai sub kultur. Karena a�?hegemoni kiaia�? a��dalam arti positifa��telah melahirkan sebuah kultur baru bagi para santri.
Pola pesantren ini kemudian ditiru oleh sekolah formal yang kemudian menerapkan model boarding schoola��istilah kerennya untuk nama asramaa��yang mana para siswa harus menginap di sebuah asrama yang disiapkan pengelola madrasah.
Sistem pemondokan bisa menjadi media yang efektif untuk menghasilkan output yang berkualitas. Muatan-muatan pendidikan keagamaan yang ditransformasikan kepada para santri tidak hanya menjadi tabungan pengetahuan (aspek kognitif), malahan lebih dalam lagi. Kegiatan asrama menjadi medan aktualisasi nilai-nilai keagamaan dengan di bawah pengawasan seorang ustadz, syukur-syukur seorang kiai.
Memang modal yang dikeluarkan pengelola cukup besar, karena membutuhkan jumlah ruangan yang tidak sedikit. Tapi sebenarnya hal itu bisa disiasati, dengan tetap mempertahankan corak pesantren. Misalkan dengan menggunakan perumahan penduduk atau warga sekitar lembaga pendidikan. Sehingga akses jarak tempuh menjadi dekat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tambahan di sore dan malam hari dalam menambah kompetensi santri. Atau bisa juga dengan mengorbankan ruangan 2 kelas yang kemudian didesain untuk menampung sekitar 20 siswa, bahkan bisa lebih. Syukur-syukur lebih kecil dari itu. Kondisi seperti itu mengandung banyak pelajaran-pelajaran yang berharga seperti bagaimana latihan bekerjasama, setia kawan, menghargai orang lain, dana��yang terpentinga��bisa mengamalkan ajaran agama. Hal ini juga menjadi media penanaman ketrampilan sosial dan ketrampilan hidup (life skills dalam arti luas) para santri. Sebuah keadaan yang tak didesain, tapi praktik dan latihan hidup bersosial terjadi di tengah serba keterbatasan tersebut.
Keadaan seperti itu memang menggambarkan seolah-olah kumuh. Padahal kekumuhan itu tergantung sistem pengelolaannya saja. Jikalau pengelolaannya cukup baik, maka kesan kumuh tidak akan menjadi label asrama tersebut.
Jadi kelebihan tradisi pesantren sebenarnya ada pada di sisi itu, yakni kebersamaan dan kesalingpengertian antar santri, di samping proses pembelajarannya. Spirit pesantren seperti ini yang sering diadopsi sekolah formal dan menerapkan pendidikan model a�?boarding.a�? Namun disayangkan, model a��boardinga�� yang ada malah memunculkan problem baru, di antaranya memunculkan watak elitisme para siswa, karena sistem asrama kurang dipahami sepenuhnya. Model a��boardinga�� hanya dipahami sebagai tempat penampungan. Jadi meskipun para siswa telah diasramakan, masih sering terjadi ketimpangan pelayanan atau klasifikasi ruangan, yang kemudian berakibat memunculkan watak elitis tersebut.
Praktik pembelajaran ala pesantren sebagaimana dipaparkan di atas telah banyak menuai keberhasilan. Karena model seperti itu pula yang menginisiasi Dave Meier untuk menulis sebuah buku yang kemudian diberi judul “The Accelerated Learning Handbook. (Edisi terjemahan telah diterbitkan oleh Penerbit Kaifa, Bandung, 2002) ” Dia menyatakan bahwa proses belajar seseorang bisa optimal jika ada pelibatan unsur tubuh (gerakan, praktik, somatis), berbicara (auditori), skema (visual), dan melibatkan perenungan, pemecahan masalah, dan emosi (intelektual). Hal seperti itu hanya mungkin dilakukan dalam kegiatan “asrama” yang dalam bahasa Dave dikenal dengan istilah a�?Supercamp.a�? Bahkan daya serap seorang siswa yang mendapatkan pelajaran lalu mempraktikan, mengungkapkan dan melakukan bisa mencapai 90%.
Kedua, Mengkaji Kitab Kuning
Kitab kuning adalah bagian warisan peradaban (turats) Islam yang sangat berharga. Di sanalah sumber informasi dunia Islam baik sejarah, teknologi, dan pengetahuan lainnya. Selama ini, hanya dunia pesantren yang mampu mengenal, membaca dan menggali isi kitab kuning ini.
Bagi siswa sekolah formal seperti madrasah, penguasaan akan khazanah klasik ini merupakan sebuah beban baru yang cukup berat. Apalagi jika memperhatikan input siswa selama ini. Mampu membaca kitab sebenarnya adalah sesuatu yang senantiasa di”impikan.” Sayang, harapan tinggal harapan, kondisi tersebut nyaris tidak pernah tercapai. Kalaupun tercapai, paling hanya sebagian kecil madrasah. Itupun madrasah yang pengelolaannya bergabung atau berada di bawah pesantren. Namun, keadaan yang terakhir ini menampilkan para santri yang belajar terbatasi oleh waktu dan menyesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah formal.
Memang, pesantren dalam kurun waktu yang panjang telah mengkonsumsi kitab kuning sebagai pedoman berpikir dan acuan bertingkah laku. Ia telah menjadi bagian yang inheren dalam pesantren. Keadaan seperti ini diharapkan menular ke madrasah atau sekolah yang menerapkan model a�?boarding.a�? Namun, keterbatasan waktu tempuh, menyebabkan target tersebut hanya sebatas impian.
Comments are closed.