“MEMUTUS UKHUWAH”
Oleh: Windi Wiyarti, S.K.M
Berada di instansi pelayanan kesehatan namun bukan seorang bidan, apoteker, perawat, apalagi dokter terasa cukup aneh. Tugasku hanya mengamati lingkungan sekitar, menganalisa, mencari penyebab dan solusi dari potongan-potongan peristiwa yang kutemui. Mirip detektif bukan? Penasaran? Mari simak dan bantu pecahkan kasus ini.
Pagi itu, saat pintu poskestren baru saja dibuka, tiga orang santri turun dari mobil sekolah dengan jaket tebal-tebal. Setelah diperiksa, santri 1 merasakan sesak nafas yang cukup konsisten setelah kemarin hidungnya penuh dengan cairan dan sesekali batuk. Beda halnya dengan santri 2 yang tidak selera makan dalam 2 hari ini, ia seperti kehilangan indera perasa. Semua makanan terasa hambar, tidak ada rasa asin, manis, gurih dan yang paling menjengkelkan adalah ia tidak bisa merasakan sensasi pedas sehingga menghabiskan banyak cabai dan akhirnya diare. Sedangkan santri 3, empat hari lalu ia sempat menggigil didalam selimut namun suhu tubuhnya tinggi, dan hari ini tidak bisa mencium bau apapun, padahal ia tidak sedang flu. Saat kapas yang telah ditaburi alkohol didekatkan kehidungnya, ia tidak bisa menebak aromanya, padahal orang normal dapat mencium mesti dari jarak setengah meter. Berdasarkan anamnesa tersebut, mereka terindikasi memiliki gejala COVID-19. Dokter tak ingin ambil resiko dengan membiarkan mereka bertemu orang-orang, sehingga berbekal satu kotak masker medis dan vitamin Becom-Zet untuk menaiki imunitas tubuh, merekapun diisolasi.
Apa benar mereka terpapar virus corona? Tapi darimana asalnya? Setauku, pondok pesantren ini sudah begitu ketat dalam menjalankan protokol kesehatan. Santri didatangkan secara bertahap dan langsung dilakukan uji swab pada hari pertama kedatangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah virus ini masuk ke dalam lingkungan pondok. Sembari menunggu hasil keluar dalam satu atau dua hari, santri dibiarkan tidur sendiri dikamar-kamar. Ketika ditemukan kasus positif, maka mereka harus siap dibawa ke ruang isolasi COVID-19 yang telah disiapkan pemerintah. Sangat ideal bukan? Lalu dimana celah sehingga virus ini berhasil menyelinap masuk?
Tepat satu minggu lalu, salah seorang santri dinyatakan positif COVID-19. Terkesan sangat aman saat santri ini dapat langsung diasingkan. Namun apakah ada jaminan ia belum menyebarkan virus pada orang sekitar? Satu minggu lalu, tracing telah dilakukan dan ditemukan 5 santri yang menjadi kontak erat. Sampai hari ini mereka masih menjalankan isolasi. Ketiga santri tadi sepertinya lepas dari pantauan dan menjadi boom waktu untuk pondok jika terbukti positif COVID-19 karena telah berinteraksi dengan banyak orang.
Sepertinya waktu itu aku kurang jeli memantau rekaman CCTV. Mari kita fokus melihat ulang rekaman CCTV pada lorong asrama dimana kasus positif berada. Terekam bahwa santri 2 sempat masuk ke kamar santri positif untuk meminjam buku catatan. Walaupun ia menggunakan masker dan menjaga jarak, namun buku yang dibawanya bisa jadi media dalam penyebaran virus ini. Namun, kita juga tidak bisa langsung menyimpulkan, karena belum tentu santri 2 mengusap mata ataupun hidung setelah menyentuh buku tersebut, sayangnya kita tidak dapat membuktikan asumsi tersebut karena CCTV tidak terpasang di kamar. Hanya itu yang terekam dari aktivitas ketiga santri ini terhadap santri positif.
Setelah dinyatakan negatif, santri 2 yang suka bermain futsal, langsung menuju lapangan di belakang asrama, dan santri 1 ternyata juga ada disana. Seusai bermain, mereka meneguk air secara bergantian dari botol yang dibawa santri 1, dan botol itu milik santri 3. Namun tidak mungkin rasanya jika kita mencurigai santri 3 karena ia merupakan anak yang taat peraturan, dari awal kedatangan ia selalu berada di kamar jadi tidak mungkin botol bekas santri 3 yang menjadi biang kerok kasus ini. Lalu siapa yang bawa virus sampai pada mereka bertiga?
Mari kita pastikan denegan mengintip keseharian santri 3. sejauh ini terlihat bahwa ia hanya menjumpai guru sehabis kelas berakhir untuk belajar sesuatu. Apa mungkin ia terjangkit dari guru? Karena walaupun hasil uji swab guru negatif, namun mereka tetap beresiko terpapar saat perjalanan pulang ke rumah setiap harinya. Yasudah daripada salah berasumsi, mari kita tunggu dulu hasil uji swab ketiga santri ini. Penyelidikan kita lanjut jika memang hasil mereka positif COVID-19.
Di asrama, ketiga santri ini melaporkan bahwa mereka terintimidasi selama isolasi. Padahal kehidupan terasa sangat normal sebelumnya. Berkunjung ke kamar-kamar teman, berbagi kisah sambil menyantap jatah makan asrama pada piring yang sama, pergi shalat lima waktu ke masjid, olahraga sore dan mengikuti seluruh kegiatan asrama seperti biasa. Tapi sekarang mereka bak di penjara, dikunci sendiri dalam satu kamar yang hanya dibuka saat pembina mengantarkan makan. Hidup terasa hambar karena aktifitas yang dilakukan sangat terbatas yaitu hanya beribadah, belajar, makan dan bernafas. Tidak ada hiburan karena hape dilarang, tidak ada kawan apalagi lawan.
“Manusia telah kehilangan rasa kemanusiaan” teriak mereka setiap kali aku dan tenaga kesehatan poskestren lainnya datang untuk memeriksa kesehatan. Pada hari kelima isolasi, aku balas dengan ucapan terimakasih pada mereka karena telah mau berkorban untuk memutus ukhuwah sehingga terbantu dalam memutus mata rantai penularan, karena hasi uji swab mereka menunjukkan positif COVID-19.
Namun demikian, tetap saja tugasku bertambah karena harus mencari kontak erat ketiga santri ini selama belum diisolasi sementara sumber penularan sebelumnya belum juga ditemukan. Santri pertama yang harus di lacak yaitu santri-santri yang sempat bermain futsal
“Benar antum sempat bermain futsal dengan santri 1 dan 2?”
“Iya Zah, berapa orang yang ada disana?
“14 Zah.”
“Apakah kalian sempat kontak fisik langsung ataupun berada di dekat mereka kurang dari 2 meter?”
“Ga ingat jelas Zah, tapi yang pasti kami minum pada botol yang sama waktu itu.”
“Oke, sekarang apa yang kamu rasakan? Apakah muncul gejala?”
“Tidak Ustadzah”
“14 hari kedepan kamu dan 14 santri yang ikut bermain futsal hari itu, diisolasi dulu ya!”
“Tapi Zah, kan saya sehat Zah, saya ga mau Zah.”
“Ini hukuman untuk antum karena tidak mematuhi protokol kesehatan.”
“Hukuman yang tidak manusiawi ini Zah. Kenapa ukhuwah kami harus diputus.”
“Justru antum menyelamatkan ukhuwah banyak orang jika mau membantu ustadzah memutus mata rantai penularan ini.”
“Ga adil Zah, jika saya diisolasi maka semua orang yang kontak dengan saya juga harus diisolasi Zah.”
“Diutamakan yang kontak langsung dengan santri positif dulu ya.”
“Percuma Zah, semua orang sudah bertemu satu sama lain. Isolasi saja langsung satu asrama, baru saya mau Zah.
“Sebentar, Ustadzah diskusikan dulu dengan pimpinan.”
Apakah kalian memiliki pemikiran yang sama untuk me-lockdown asrama selama 14 hari? Apakah dosa akan tertumpu padaku jika solusi untuk memutus mata rantai penularan ini dengan jalan memutuskan ukhuwah seperti yang mereka katakan?
Tunggu! sejenak ku tersadarkan bahwa sebenarnya aku juga merupakan kontak erat. Apakah aku juga harus diisolasi? Sehari setelah bertemu ketiga santri itu di poskestren aku di uji swab karena telah bersentuhan dengan salah seorang guru yang dinyatakan positif COVID-19 dan hasilnya negatif. Apa yang telah kulakukan hingga aku selamat dari rantai penularan ini? Pagi itu aku merasa bahwa akulah orang positif COVID-19, sehingga aku sangat berhati-hati dengan selalu menjaga jarak lebih dari 2 meter dari orang, menyemprotkan handsanitizer pada seluruh permukaan yang kusentuh, mengganti masker medis empat jam sekali, dan tak henti mencuci tangan. Apakah sebenarnya prinsip 3M (Memakai masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) cukup efektif dalam memutus rantai penularan ini?
Apapun yang terjadi di dunia, ukhuwah tidak boleh sampai terputus. Manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Jika tidak bertemu dengan manusia adalah satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup maka bukan berarti harus memutus ukhuwah. Interaksi harus terus berlanjut walau hanya lewat media. Tidak ada manusia yang sanggup jika dihadapkan pada hukuman tidak bertemu manusia. Sebagai gantinya mereka sepakat memilih patuh pada protokol kesehatan. Patuh mengikuti terapi dan pengobatan jika mendapati gejala hingga akhirnya sembuh. Kesadaran akan semua ini membuat viruspun mati dan berhenti merasuki. Hingga akhirnya kehidupan asrama berjalan seperti biasa namun tidak dengan kebiasaan lama. Namun, sadarkah bahwa ada satu misteri yang masih menjadi teka-teki? Silahkan berasumsi pada siapa virus bertransmisi pertama kali.
Selesai