CERPEN : JUARA 1 LOMBA MENULIS CERPEN GURU DAN PEGAWAI THAWALIB PARABEK

“PERBEDAAN YANG MENYATUKAN”
Oleh: Intan Pratami, S. Pd

Cahaya sang mentari sudah mulai menembus sela-sela dinding rumah Ranti. Ayam pun tak hentinya saut menyaut berkokok. Namun, di gubuknya, Ranti masih terlelap tidur sehingga ia tidak tahu jam dindingnya sudah menunjukkan pukul 07.30. Itu pertanda bahwa Ranti harus segera menyiapkan dagangan yang akan dia bawa ke sekolah.

Melihat Ranti yang tak kunjung keluar dari kamarnya, ibu pun mengetuk pintu kamar

Ranti, “Nak, kamu ketiduran ya? Kenapa dari tadi belum kelihatan batang hidungmu?” Ibu terus mengetuk pintu kamar Ranti sehingga Ranti pun dengan sangat kaget tersentak bangun. Melihat cahaya yang sudah banyak masuk kamar ia segera bergegas membuka pintu kamarnya.

“Maaf Bu, Ranti ketiduran!”
“Iya gapapa, Nak. Kamu kelelahan itu karena seharian kemarin membantu Ibu keliling kampung menjajakan dagangan kita,” ucap Ibu yang tengah asyik di dapur menyiapkan dagangan yang akan dibawa Ranti ke sekolah.
“Sekarang segeralah mandi dan siap-siap ke sekolah, Nak! Nanti kamu terlambat dan gak bisa lagi masuk karena pagar sudah dikunci Pak Santo,” tegas Ibu kembali.

Dengan tergesa-gesa Ranti pun segera menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi sekolah. Setelah semuanya selesai ibu menyerahkan dagangan ke tangan Ranti dan ia pun dengan senang hati mengambil dagangan itu.

Setiap hari Ranti selalu membawakan dagangan ibunya ke sekolah. Berbagai macam makanan tradisional jualan Ibu dia bawa, mulai dari kerupuk kuah, pensi, pergedel, ondel-ondel, goreng pisang, dan bakwan. Sesampai di sekolah Ranti menitipkan dagangan ibunya itu di kantin sekolah. Setiap hari Ranti rutin melakukan hal tersebut. Sedikitpun ia tak pernah gengsi atau malu. Meskipun banyak teman-teman yang menghina karena banyak tentengan di tangan Ranti setiap hari.

Ranti hanya tinggal berdua dengan ibunya di gubuk peninggalan ayah Ranti. Ayah sudah lama meninggalkan Ranti dan ibu. Saat itu dengan alasan ingin mengadu nasib ke Bandung, ingin mengubah takdir, dan berjanji jika nanti sudah sukses akan menjemput Ibu dan Ranti. Namun apa boleh dikata, sampai saat sekarang Ayah tak kunjung pulang, sehingga Ibulah yang harus bekerja mengais rezeki demi menghidupi gadis semata wayangnya. Akibat hari itu Ranti terlambat bangun sehingga ia tergesa-gesa berangkat sekolah dan sesampai di sekolah pun ia segera bergegas menuju kantin untuk menitipkan dagangan yang sudah ditenteng dari rumah. Setelah semua dagangan dititipkan di kantin, Ranti pun bergegas untuk segera menuju kelas. Satu menit sampai di kelas bel pun berbunyi dan pertanda bahwa pembelajaran akan segera dimulai.

Di sekolah Ranti terkenal sebagai anak yang pintar, santun, dan suka membantu teman-temannya yang tidak mengerti dengan pelajaran yang dijelaskan Bapak atau Ibu guru. Saat itu mereka belajar bahasa Indonesia, Bu Dede menjelaskan jenis-jenis majas. Dengan penuh perhatian Ranti menyimak setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Bu Dede. Setelah selesai menjelaskan materi, Bu Dede meminta anak-anak untuk menuliskan contoh kalimat dari masing-masing majas. Ranti tampak serius dan semangat mengerjakan latihan tersebut. Teman di sebelah Ranti duduk, Sava, tak mengerti cara menuliskan kalimat dan meminta Ranti untuk menjelaskannya. Dengan senang hati Ranti menejalaskan secara perlahan dan akhirnya Sava mengerti.

Usai belajar, Sava mengajak Ranti ke taman sekolah yang letaknya sebelah utara dari musala sekolah. Ranti menyetujui ajakan Sava namun dia minta waktu 15 menit untuk salat dhuha dulu di musala. Sembari Ranti salat, Sava mengamati dari luar setiap gerakan Ranti, nyaris tak satupun gerakan salat Ranti yang terlewatkan di pelupuk mata Sava. Begitu khidmat Sava menyaksikan Ranti yang khusyuk salat dhuha. Setelah selesai salat, Ranti pun segera menuju tempat Sava yang lagi duduk di taman memandangi bunga-bunga yang begitu menyejukkan mata. Sejenak Sava terdiam. Kemudian terdengarlah alunan suara Sava yang sepertinya ingin menanyakan sesuatu kepada Ranti.

“Ranti, aku perhatikan setiap hari kamu membawa dagangan ke sekolah, sesampai di sekolah kamu begitu semangat mengikuti setiap pelajaran, di sela istirahat kamu juga menyempatkan ke musala untuk salat dhuha. Apakah kamu tidak capek? Apakah kamu tidak ingin beristirahat sejenak?” ucap Sava yang mulai serius menatap Ranti.

Ranti hanya tersenyum mendengar ucapan Sava.
“Kenapa kamu hanya tersenyum? Aku mau dengar suaramu, bukan senyuman itu,” ucap Sava yang sedikit mulai kesal dengan temannya itu.
“Baiklah Sava, sekarang aku jelaskan ya. Setiap hari aku membawa dagangan ke sekolah, melakukan berbagai aktivitas di sekolah dengan penuh semangat, tak pernah aku merasakan capek sedikitpun, karena semua itu aku lakukan demi ibu ku. Aku kasihan melihat ibu, membanting tulang setiap hari demi menghidupiku, agar aku bisa sekolah, agar aku bisa makan, aku mau sukses, aku mau membahagiakan ibuku. Makanya dari sekarang aku bertekad tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun waktuku untuk hal-hal yang bermanfaat.”

Sava pun semakin serius mendengar setiap ucapan Ranti. Kemudian sava kembali melontarkan pertanyaan yang sejak tadi sudah berputar-putar di kepalanya.
“Ranti, setiap hari aku perhatikan kamu juga tak pernah alfa salat dhuha. Sebenarnya siapa sih yang mengajarkan kamu salat? Dan kenapa kamu lakukan itu setiap hari? Apakah kamu tidak capek melakukan hal itu setiap hari?” pertanyaan Sava membuat Ranti tercengang heran.
“Kok kamu bertanya seperti itu Sava? Apakah kamu tidak ada salat selama ini? Apakah kamu tidak ada diajarkan orang tuamu untuk salat?” tanya Ranti yang mulai heran dengan pertanyaan Sava yang dilontarkan kepadanya. Sejenak Sava tertegun, diam seribu bahasa. Seperti ada suatu hal yang sedang berkecamuk di dalam kepalanya.

Dengan mata berkaca-kaca, Sava menjawab pertanyaan Ranti dengan terbata-bata. “Begini Ranti, semenjak kecil aku tidak pernah dikenalkan siapa penciptaku, apa agamaku, dan aku dibiarkan begitu saja. Ayah dan bundaku sibuk bekerja. Pergi pagi dan pulangnya saat sudah malam. Bahkan aku jarang bertemu orang tuaku. Aku hanya difasilitasi berbagai kebutuhan mewah tanpa mendapatkan curahan kasih sayang. Jadi aku tidak pernah mendapatkan hal-hal seperti yang kamu kerjakan itu. Meskipun hidupku berkecukupan, namun aku tak pernah merasakan kebahagiaan. Jauh sekali berbanding terbalik dengan yang kamu rasakan Ranti.”

Mendengar ucapan Sava, Ranti pun diam seribu bahasa dengan mata berkaca-kaca. “Sava, kamu berkecukupan namun tidak bahagia. Sudah sepatutnya aku bersyukur kepada Sang Ilahi. Walau aku tak diberi harta yang berlimpah, namun kasih sayang Ibu begitu tulus sangat aku rasakan.”
Sejenak suasana hening dan mereka berpelukan hingga tak terasa wajah mereka sudah dibasahi air mata. “Ranti, apakah kamu mau mengenalkanku dengan ajaran agama? Maukah kamu mengajarkan ku salat dan ibadah-ibadah lainnya yang diperintahkan Allah?” ucap Sava dengan nada pelan.
“MasyaAllah Sava, dengan senang hati aku akan mengajarkanmu. Yuk, kita sama-sama belajar mengenal keesaan Allah dan melakukan semua perintahnya!” dengan senyuman sumringah Ranti menatap dan menyemangati sahabatnya itu.
Setelah beberapa menit asyik di taman, akhirnya mereka kembali ke kelas untuk melanjutkan belajar karena bel terdengar dengan nyaring pertanda waktu istirahat berakhir. Setelah jam pulang, Ranti pun menuju kantin untuk mengambil toples-toples tempat makanan yang ditaruhnya di kantin. Alhamdulillah hari itu semua dagangan Ranti laku terjual dan tidak ada bersisa sedikitpun. Ranti pun dengan senang hati menenteng toples-toples itu pulang.
Tak jauh dari gerbang, terdengarlah suara Sava memanggil Ranti. “Ranti… Ranti… tunggu aku!”
Karena tahu persis itu suara sahabatnya, maka Ranti menoleh ke belakang dan melihat ternyata memang benar, Sava lah yang memanggilnya.
“Ranti, aku mau ikut ke rumah kamu ya,” ucap Sava.
“Hah? Kamu mau ke rumah aku? Ngapain? Nanti kamu capek lo berjalan ke rumah. Rumah aku kan jauh. Lagian rumah aku gak sebagus rumahmu, nanti kamu jijik masuk.”
“Jangan berkata seperti itu Ranti, aku benar-benar mau ikut denganmu. Aku mau belajar denganmu,” tegas Sava.
“Baiklah, kalau memang itu permintaanmu. Yuk kita lanjutkan perjalanan!”

Selama di jalan, mereka bercengkrama, asyik bercerita sehingga tak terasa sudah sampai di depan rumah. Sesampai di rumah, Ranti memperkenalkan Sava kepada ibunya. Sava mencium tangan Ibu dan Ibu pun menatap Sava dengan senyuman hangat. Tak berselang beberapa saat, Ranti pun menceritakan maksud kedatangan Sava ke rumah. Ranti menceritakan semua yang diceritakan Sava di taman kepada Ibu. Ibu sontak kaget mendengar cerita Ranti. Setelah Ranti bercerita, Ibu memeluk Sava bagaikan pelukan seorang ibu kandung kepada anaknya.

“Sava sayang, jika memang kamu tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuamu, dan butuh pendidikan akan agama, maka Ibu siap membantumu, Nak. Anggaplah Ibu seperti ibumu sendiri dan Ranti ini saudaramu. Jangan sungkan-sungkan. Mulai hari ini Ibu dan Ranti akan menuntunmu untuk mengenal Allah dan mengajarkan salat serta ibadah-ibadah lainnya yang diperintahkan agama,” ucap Ibu penuh semangat.

“Wahh… Benaran, Bu? Ibu akan mengajarkanku? Mengenalkanku akan keesaan Sang Khaliq, Bu?”
“Iya benar, Nak!” tegas Ibu kembali.

Mendengar ucapan ibu, mata Sava tampak berkaca-kaca. Tak pernah dibayangkan sebelumnya bakal ada yang akan menganggapnya seperti anak kandung sendiri, mengajarkan agama dan ibadah-ibadah yang diperintahkan dalam agama Islam. Semenjak saat itu, setiap pulang sekolah Sava selalu datang ke rumah Ranti. Ia dengan semangat belajar mengenal ajaran Islam dan kedekatannya pun dengan Ibu sudah begitu erat. Tak lama berselang waktu, Sava pun mulai mengenakan hijab. Ia khusyuk melaksanakan setiap ibadah yang diperintahkan Allah dan tak satupun ibadah yang lalai ia kerjakan.