CERPEN : DI BAWAH LINDUNGAN KAMPUS HIJAU

Oleh: Syafria Elfiana

Kamis, 22 September 2016. Seorang gadis muda, kira-kira umur 19 tahun tampak menarik kopernya di bawah terik matahari. Satu kilo sudah ia melalui jalan rusak dan becek, namun ia tidak nampak mengeluh ataupun hendak berhenti berteduh sejenak. Dia pendatang baru. Hal ini jelas karena wajahnya jauh berbeda dari santri yang sering berlalu lalang di sekitar perkampungan ini. Sesekali ia menyapa dan menanyakan letak Ponpes Sumatera Thawalib Parabek kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan.

Wajahnya berseri-seri. Dia tampak bahagia. Entah apa yang membesarkan hatinya saat itu. Raut mukanya jernih menunjukkan hatinya yang bersih dan budi pekerti serta santunnya kepada siapa saja yang ditemuinya. Pantaslah agaknya ia mewakili elok akhlak sosok seorang gadis Ranah Minang.

Kini sampailah ia di depan Ponpes Yayasan Syekh Ibrahim Musa. Sebuah pondok pesantren yang asri dan jauh dari bisingnya jalan raya. Di depannya menjulang dua gunung, Merapi dan Singgalang. Perairannya masih sangat bersih dan terawat. Kampus Hijau nan gagah dengan atap ciri khas milik orang Minangkabau. Tak hanya tentang tempat, begitu pun dengan orang-orangnya, dari cara berpakaian nya saja jelaslah baik dan mulia nian akhlak mereka. Yang Laki-laki berbaju koko, bersarung rapi dan berpeci haji. Sedangkan yang perempuan berbaju basiba lapang, rok salam dan bermudawwarah khas gadis Ranah Minang.

Sebelum masuk, Laila bertemu salah seorang Ustazah yang mengajar di pondok tersebut. Ia sempat menanyakan sesuatu kepada beliau. “Assalamualaikum, afwan Bu. Saya mau mendaftar mahasantri baru, apakah masih bisa kira-kira Bu?” Ustadzah itu pun menjawab, “Oh, seperti nya sudah tutup sejak Juli lalu.”

Laila masih tertegun dengan jawaban yang barusan diterimanya. Apakah memang begitu? Lalu kenapa kemaren Ustadz Taufiq yang ia hubungi beberapa hari yang lalu memintanya datang ke pondok ini. Ah, ya sudahlah, mungkin Ibu tadi tak begitu paham, pikirnya menenangkan pikiran.

Sampailah ia di gerbang Pondok, ia disambut oleh seorang satpam.

“Mohon maaf ada yang dapat kami bantu?”, “Ya bapak, saya mahasantri baru”,

“Mohon maaf, Nak kita tidak menerim mahasantri lagi”

Bertambah kagetlah Laila, karena dari kampusnya yang lama ia telah menulis surat berhenti secara resmi, dan pembatalan beasiswa nya pun sudah ia tanda tangani sebelum berangkat ke Pondok ini. Mulailah kecewa menghampiri hatinya. Kini, saat dinyatakan demikian oleh satpam ia tak mampu menjawab apa-apa. Namun ia tak menyerah, ia mencoba menghubungi Ustadz yang menelponnya beberapa waktu lalu. Nihil. Telponya tidak diangkat. Ia hendak berbalik saja. Hendak beristirahat di Mesjid sejenak untuk menenangkan diri.

Namun sebelum ia menarik kopernya kembali, satpam tadi memanggilnya kembali.

“Silakan masuk dulu, Nak. Tapi kopernya tinggal di luar,” tuturnya.

“Apa kopernya ditinggal?” Laila memastikan apa yang didengarnya benar.

“Iya,” jawab satpam kembali menegaskan. Laila kembali diam saja, karena lagi-lagi ia tidak suka dengan apa yanng didengarnya. “Mohon maaf nak, ini untuk keamanan pondok ” lanjut satpam tersebut.

Sedang berlangsungnya percakapan demikian, “Assalamulaikum Laila..ahlan wa sahlan, ayo mari masuk,” seseorang menghampiri kami, dari cara berpakaiannya nampaklah ia seorang Ustadz.

“Afwan Laila… antum Laila kan, saya diminta Ustadz Taufiq menemui antum kedepan, kata beliau antum mahasantri baru.”

“O ya benar Ustadz,” jawab Laila sumringah.

“Mari keruangan saya. Mohon bantuannya Pak. Tolong bawakan koper Laila ke kantor asrama.”

Kemudian Laila mengikuti langkah beliau ke ruangannya. Setelah menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan dan tak banyak basa basi, Laila diantarkan ke ruangan Mudir Ma’had Aly. Setelah wawancara dan obrolan singkat dengan beliau Laila diantarkan ke kantor asrama. Disana Laila bertemu dengan Ustadz Taufiq Suar, pimpinan asrama. Dari pertemuan tersebut Laila ingat betul pesan beliau saat itu “Laila. Jika antum sudah masuk ke lingkungan Ponpes Syekh Ibrahim Musa Parabek, apalagi tercatat secara resmi sebagai mahasantri disini, maka antum sudah menjadi bagian keluarga besar di Ponpes ini. Begitulah kata Syekh Ibrahim Musa dahulu. Siapa yang beragama Islam, datang ke pondok ini, maka ia termasuk keluarga besar kita serta sekolah  ini juga miliknya bersama kita. Maka karena itu Nak, Laila sudah kita anggap anak kami disini. Anak bagi yang tua-tua, adik bagi yang lebih dewasa, kakak bagi yang umurnya lebih muda. Jadi Laila anggaplah kami demikian pula. Muliakan yang tua, kalo ada nenek maupun kakek, mereka kakek dan nenek Laila, kalo ada ibu- ibu dan bapak mereka orang tua Laila, kalo ada adik dan kakak mereka saudara Laila. Jangan sungkan-sungkan, anggaplah kami keluarga kandung Laila. Kita telah dipertalikan dalam ikatan keluarga besar dibawah lindungan Yayasan Ibrahim Musa. Semoga Laila betah disini, berjaya, serta mencintai kami semua dalam ikatan ukhuwah islamiah.”

Sejak hari itulah Laila resmi menjadi keluarga besar Yayasan Syekh Ibrhim Musa. Hingga kini, 22 September 2020, genap 4 tahun ia muqim di pondok ini. Sudah banyak kawan dan saudara yang tak terhitung jumlah berkarib baik dengannya. Mereka datang dan pergi ke pondok ini. Ada yang masuk ada yang telah pergi setelah menamatkan pendidikannya. Memang begitulah sekolah, setelah tamat mereka hendak menyambung pendidikannya pula ke tanah para nabi di Makkah mukarramah, ke Madinah, Yaman dan negeri-negeri di timur tengah lainnya ataupun universitas-universitas terbaik di Indonesia.

Banyak masalah datang silih berganti yang ditemui Laila selama 4 tahun ia disini, namun berkat pertolongan Allah dan saudara-saudara nya, kakak, adik, dan Guru di Pondok ini ia dapat melaluinya dengan baik-baik saja.

Hingga suatu hari ia ditimpa sakit berat yang membuatnya hampir lumpuh. Sakit ini tak ia beritahukan kepada keluarganya. Ia tahan saja sakit ini di pondok dan meminta pihak asrama tidak mengabari kepada keluarganya. Karena di kampung keluarga sedang dalam keadaan bersusah hati pula. Adik ibunya meninggal karena kanker otak. Saat inilah ia merasakan persaudaraan disini sangatlah elok. Adik kelasnya Julia merawatnya dengan senang hati. Sebulan lebih Julia merawat dan menjaga Laila.  Pergi berobat, keperluan sehari hari, dan semua tanggung jawab Laila sebagai pembina asrama ia kerjakan dan ia bantu dengan cuma-cuma. Tidak hanya Julia, bahkan semua teman-teman pembina asrama putri dan santri menjaga Laila hingga ia sembuh seperti sedia kala.

Setelah Laila sembuh ia kembali beraktivitas seperti biasa. Kuliah, mengajar, mengasuh santri asrama, dan juga sangat banyak kegiatan organisasi di kampus yang diikutinya. Ia gadis yang aktif dan suka bersosialisasi sehingga tak lama ia di pondok ini, orang-orang mengenalnya dengan Laila Ma’had Aly Parabek. Berkat kepercayaan dan dukungan guru dan teman-temannya di Ponpes ini, kini ia telah meraih berbagai prestasi. Ya, berkat persaudaraan dan cinta kasih yang diberikan keluarga besar Syekh Ibrahim Musa kepadanya.

Saat Laila akan menyelesaikan pendidikannya di Ma’had Aly Parabek, banyak bantuan yang diberikan teman-temannya. Mulai dari mencari bahan dan referensi skripsinya, menyediakan laptop, membantu membina santri agar Laila fokus menyelesaikan studinya dan berbagai hal lainnya. Bantuan itu datang bukan hanya yang masih nyantri di ponpes, bahkan yang sudah tamat dan kuliah di tempat lain sekalipun. Karena mereka tahu Laila merupakan salah seorang keluarga Yayasan Syekh Ibrahim Musa mereka jadi kawan dan sahabat serta keluarga juga oleh Laila walupun tak pernah bertatap muka secara langsung.

Itulah sedikit kisah Laila tentang begitu besarnya cinta dan kasih sayang yang ia peroleh dari Ponpes Yayasan Syekh Ibrahim Musa, atau ia memangggilnya kampus hijau. Tempat yang menjadikanya percaya bahwa semua orang berhak meraih mimpi dan sukses di masa depan. Tempat yang telah membuktikan kepadanya betapa indah dan pentingnya arti ukhuwah islamiah, ukhuwah di bawah lindungan kampus hijau. Semoga terus berjaya dan mengantarkan siapa saja yang datang ke kampus ini meraih mimpi-mimpinya dan merasakan arti Islam rahmatan lil ‘alamin dan kekuatan persaudaraan dengan saudara seiman.