Oleh : Rezi Resti Fauzi, S.Pd
Aku merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Aku memiliki kakak laki-laki dan perempuan. Kakak laki-laki bekerja sebagai sopir angkot sementara kakak perempuanku bekerja sebagai PNS di rumah sakit umum di kota tempat tinggalku. Ibuku seorang pensiunan rumah sakit di tempat kakakku bekerja sekarang sementara ayahku sudah dipanggil sang Ilahi ketika aku masih berusia 12 tahun.
Aku salah seorang anak yang paling tidak diharapkan ditengah-tengah keluargaku. Aku sadar kehadirannku yang tidak diinginkan semuanya karena perbuatanku. Aku merupakan anak yang dari kecil selalu menyusahkan orang tuaku. Ketika aku masih SD, aku termasuk anak pintar yang sering mendapatkan juara akademik atau non akademik. Hari berganti dengan bulan, bulan berubah menjadi tahun. Ketika aku beranjak menjadi siswa SMP, kebiasaanku mulai berubah.
Sekolah yang aku jalani hanya untuk hura-hura, jauh dari kata serius. Kegiatanku di sekolah hanya cabut bersama teman-teman yang tergolong nakal sepertiku. Aku huru-hara kesana kemari bersama teman-temanku dan sering merokok berjamaah di kelas. Tidak bertahan 2 bulan aku berada disekolah tersebut, aku dikeluarkan. Ibuku dipanggil untuk menerima surat tanda aku dikeluarkan dari sekolah tersebut. Ibuku hanya menetapku dengan wajah yang kecewa.
Aku kembali didaftarkan ibuku sekolah di luar kota tempat aku tinggal. Aku tinggal bersama keluarga ayahku. Rupanya, sekolah tersebut tidak mampu mengubah kebiasaan berukku. Kebiasaanku masih seperti sekolah aku lama. Aku masih bertingkah dan masih menyusahhkan dan memusingkan kepala ibuku. Aku dikeluarkan lagi dari sekolah yang kedua. Kebiasaanku yang jarang masuk kelas, suka berantem, suka merokok, suka buat onar membuat aku dikeluarkan lagi di sekolah itu. Padahal harapan orang tuaku, aku bisa bertahan di sekolah yang kedua.
Berjalannya waktu, sifat burukku semakin berkembang. Kesalahan yang sama tidak menjadikan aku jera. Aku masih seperti itu lagi dan lagi. Singkatnya, sudah 6 sekolah yang aku duduki selama SMP. Ibuku akhirnya lelah dan tidak ingin mendaftarkan aku lagi ke sekolah yang ke-7. Hari-hariku sekarang aku jalani di rumah dan berkumpul bersama teman. Aku mulai tertarik di bidang olah raga. Aku mulai menggeluti sepak bola. Perkembanganku di bidang olahraga rupanya membawaku ke ibukota untuk mengikuti turnamen.
Aku mulai jauh dari keluargaku. Terutama ibu dan kakakku. Kedekatan antara aku, ibuku, dan kedua kakakku mulai retak. Karena aku beranggapan aku bisa hidup tanpa mereka. Ketika aku pulang ke rumah, aku hanya pulang untuk mandi dan makan, lalu pergi lagi. Tidak terasa umur dan kedewasaanku bertambah di lingkungan luar.
Suatu ketika, aku tersintak dengan dunia nyataku. Aku merasa iri melihat kedekatan kedua kakakku bersama ibu. Aku mengira seakan kasih sayang ibuku tidak ada lagi. Semua seakan tercurah kepada kedua saudaraku. Aku kembali ke rumah ntuk menarik perhatian ibuku padaku. Tetapi cara yang aku lakukan salah, aku datang ke rumah dengan wajah yang sangar dan mata yang tajam. Aku ingat, ketika itu aku mau makan. Aku bertanya kepada ibuku, ”Ibu, kenapa tidak ada lauk hari ini? Aku lapar Bu,” suaraku memenuhi satu rumah. Ibuku hanya terdiam dengan bentakanku. Aku sering melempar amarah dan amukan kepada ibuku. Seakan semuanya salah ibuku. Tetapi ibuku hanya diam seribu bahasa melihat tingkahku.
Hari berlalu, semakin lama hubungankku dengan ibuku semakin berjarak. Aku sering menghampiri ibuku dengan rasa amarah. Aku hanya memperlihatkan ego dan kekesalanku. Kadang masalah kecil pun aku memberontak. Kakak perempuanku sering menegurku ketika aku melawan kepada ibu. Tetapi, aku malah balik marah kepada kakak perempuankku, begitu juga dengan kakak laki-lakiku. Keributan antara kami sering terjadi dari masalah kecil sampai masalah besar. Ibuku tidak mampu lagi untuk melerai kami. Sehingga aku dijauhi keluargaku. Kadang ketika ibu dan kakakku sedang berkumpul, aku datang menghampiri mereka. Seketika itu mereka langsung diam dari canda tawanya. Perlahan mereka pergi menjauhiku. Mereka tidak mau menghampiriku, karena mereka tidak ingin berdebat dengan egoku.
Aku kembali ke dunia luar. Aku sering mabuk-mabukkan. Aku sering tawuran, balapan liar dan lainnya. Ibuku kembali mencoba menghampiriku dan memberi nasihat kepadaku tentang apa yang aku lakukan itu. Responku di luar dugaan ibu. Nasihat yang beliau berikan aku bantah dengan tidak sewajarnya. Pada akhirnya, ibuku memilih meninggalkanku. Aku yakin dalam diam ibuku selalu mendoakan perubahan dari diriku.
Tahun ke tahun umurku bertambah. Kesepian semakin aku rasakan. Aku ingin keluar dari sifat burukku. Aku ingin merasakan kembali hangatnya berada di tengah-tengah keluargaku. Tapi kedatanganku sering membuat kekacauan menurut mereka. Aku yang dikenal suka marah-marah, suka banting perabot rumah ibuku, dan sering adu mulut bahkan adu otot dengan kakakku. Mereka sulit untuk menerimaku kembali. Karena mereka tidak ingin terlibat masalah dengankku. Kehadirannku tidak mereka inginkan, mereka nyaman jika aku jauh dari mereka.
Perlahan aku mulai berpikir untuk mencari pendamping hidup. Aku ingin diperhatikan dan disayangi, aku butuh itu. Rupanya, keinginanku tercapai. Aku dipertemukan dengan gadis desa yang sederhana. Aku langsung tertarik padanya. Aku ingin meminang gadis itu secepatnya. Awalnya, gadis itu menolak keinginanku. Dengan keinginanku yang sangat kuat akhirnya dia menerimaku. Aku membawa gadis itu ke rumah dan memperkenalkan kepada ibu dan kakakku. Rupanya, aku tidak salah pilih orang. Aku yang hanya sampah masyarakat bisa memilki gadis desa yang asri. Orang tua dan kakakku menyetujuinya. Aku selalu melihat kedekatan gadis pujaanku semakin lama semakin akrab dengan keluargaku. Malahan keluargaku lebih dekat dengan dia dari pada aku yang merupakan anak kandung dan adik kandung dari ibu dan kakakku.
Melihat suasana seperti itu, aku tidak merasa cemburu. Aku sangat bahagia karena respon keluargaku terhadap gadis pujaanku. Rupanya di belakangku, ibu dan kakakku menceritkan sifat burukku selama ini kepada calon pujaanku. Aku menjadi tidak karuan, karena aku tidak mau keinginanku untuk menikahinya menjadi berantakan. Dugaanku salah, gadis desa itu menerimaku dengan tangan terbuka atas semua kejelekkankku. Dia seakan menjadi penengah di antara aku, ibuku dan kakakku. Dia selalu memberikan siraman rohani kepadaku. Perlahan dia mmengetuk pintu hatiku. Aku memberanikan diri untuk meminta maaf kepada ibu dan kakakku, atas saran si gadis desa pujaan hatiku. Seakan dia menjadi hakim diantara aku dan keluargaku.
Sekarang aku bahagia, karena selama ini yang tidak aku dapatkan sekarang aku dapatkan. Aku bisa merasakan canda tawa kembali bersama ibu dan kakakku. Merasakn kasih sayang dari ibu dan kakakku. Aku semakin percaya, ukhuwah yang kita jalin dengan orang lain apalagi dengan keluarga membuat kita tenang, tentram dan bahagia. Kata-kata janji berbisik kepadaku, aku tidak akan merusak lagi ukhuwah yang pernah retak.